Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Menasdikkan Dewasa di Lapangan Voli

23 September 2016   16:38 Diperbarui: 23 September 2016   16:44 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Sepatu and bola voli | foto: Uyya Wicaksana

Untuk bisa diakui sebagai lelaki dewasa, setidaknya khusus di tempat saya, seseorang mesti melewati dua frasa: menjadi bagian tim sepakbola yang rutin diadakan setiap Agustus-an dan setiap hari ikut latihan voli dari menjelang sore hingga adzan magrib berkumandang.

Oleh sebab itu, jika hanya mengikuti satu saja, ia akan tetap dianggap anak-anak. Bukan umur yang mementukan. Bukan juga kematangan berpikir seseorang. Semua diuji dan diselesaikan di lapangan.

Banyak kok yang seperti itu. Ada yang sampai kuliah tetap dianggap anak-anak. Ia tidak dapat akses apa-apa, seperti orang dewasa lainnya. Dan yang hanya membuat ia seakan setara dengan orang-orang lainitu hanya datang satu kali dalam setahun: ketika lebaran. Di saat seperti itu, semua berbaur. Semua menjadi putih, semua sama di antara sesama.

Tapi itu dulu. Dan, barangkali akan tetap seperti itu.

Sepakbola hanya sebatas membawa seorang laki-laki sampai level: di mana ia tumbuh menjadi remaja, lalu aktif di organisasi karang taruna, hingga kemudian menyelenggarakan beragam civitas kemasyarakatan.

Tidak ada akses lebih. Akses untuk bisa berbaur dengan para orang dewasa atau orangtua hanya sesekali saja. Lingkungan akan membawa mereka terus berada di lingkaran itu.

Saya tidak tinggal di perkampungan, tidak juga di perkotaan. Saya lahir, tumbuh dan besar di sebuah perumahan yang berada di sisi paling luar dari kota besar dan sisi paling dalam kota kecil. Secara demografi, saya berada di antara orang kampung yang mengais rezeki di kota. Kampungan yang tergerus tipu dan daya metropolitan.

Jika boleh mengutip perkataan Yu Sin, salah seorang yang pernah mepresentasikan konsep Kampung - Kota, bahwa hal semacam itu membentuk ruang-ruang jenius yang bahkan tidak bisa dibuat oleh arsitek sekalipun.

Ruang-ruang jenius itulah yang hanya bisa didapat di lapangan voli.

Dulu, hampir setiap hari, setelah lapangan voli dibuat, seakan mengubah pola hidup lingkungan saya. Ibu-ibu yang biasanya memasak sore hari untuk makan malam, digeser waktunya menjadi siang. Air panas untuk membuat teh manis atau kopi bagi suaminya benar-benar dibuat dadakan; beberapa menit sebelum suami mereka pulang. Saya dan juga teman-teman sepantaran jadi tidak pernah lagi nongkrong sepulang sekolah. Secepatnya keluar kelas, kami akan langsung pulang supaya kebagian main voli sore harinya.

Kebiasaan berubah, pola hidup juga berubah. Hanya kesenangan di lapangan voli yang tetap sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun