Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perempuan yang Dipoligami Itu Menang pada Malam Pertamanya

25 Juli 2019   00:18 Diperbarui: 25 Juli 2019   10:19 1860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku bagus: Menyemai Harapan | Dok. Pribadi

Sampai hari ini (24/07) hukum qanun keluarga di Aceh masih dalam pembahasan. Qanun tersebut, di antaranya, tersurat membahas atas poligami yang dilegalkan alias mendapat payung hukum.

Namun, pada hari yang sama, sampai sekarang (24/07) aku masih tidak percaya: bahwa ada seorang istri dengan begitu berani --atas hal-hal yang ia rasakan-- sampai hati membacok suaminya. Tentu itu tindak kriminal. Tapi perlakuan suami kepada seorang istri yang terus-terusan minta jatah ewita padahal istrinya baru saja melahirkan juga sama sekali tidak bisa dibenarkan. Itupun sama kriminalnya!!

Karena ketidakpercayaan itu pula yang membuatku mesti bangun pagi (24/07), lalu main basket barang sebentar, sembari mendengar lagu-lagu baru Iggy Azalea untuk menyemangati, setelah itu mencari buku ke perpus Teras Baca.

Buku yang kucari itu judulnya "Menyemai Harapan". Buku lama, terbit tahun 1988. Ditulis oleh penulis perempuan kesukaanku: Maria A. Sardjono.

Awalnya buku tersebut --dan, Saman yang ditulis Ayu Utami-- adalah caraku untuk menertawakan (setiap momen) pernikahan. Tapi, karena 2 peristiwa di atas, tawa itu perlahan hilang.

Begini.

Premis besar buku "Menyemai Harapan" adalah kisah Dewi yang lahir dari keluarga yang melakukan poligami. Sejak usia 5 tahun, ia bersikeras kalau kelak hal tersebut tidak menimpa juga oleh dirinya.

Namun, takdir berkata lain. 20 tahun setelah itu, beberapa hari jelang pernikahannya, ternyata calon suaminya tersebut menikah dengan perempuan lain.

Dengan berbagai pertimbangan, Dewi tetep melangsungkan pernikahan.

Pada bagian inilah Maria A. Sardjono membahasnya pada chapter 4 dalam buku "Menyemai Harapan".

Tentang bagaimana Dewi bersikap dan menyikapi poligami. Tentang bagaimana posisi perempuan yang dipoligami. Tentang lelaki yang selalu ingin menang dalam relasi hubungan suami-istri.

Itu semua mengingatkanku, secara tidak langsung, pada 2 peristiwa tersebut.

***
1/
Poligami bahkan bisa terjadi karena kemauan satu atau dua belah pihak yang tidak ingin menghancurkan harapan keluarga. Poligami yang dilakukan secara diam-diam itu, kita tahu, pasti perlahan akan diketahui orang.

Membatalkan pernikahan yang sudah jauh-jauh, apalagi karena seorang lelaki sudah menikah, tentu akan menyakitkan hati kedua belah pihak keluarga. Menanggung malu, barangkali, atas hal-hal yang bisa dibayangkan.

Tetapi, terlepas dari itu semua, niat Dewi tetap menerima bahkan melangsungkan pernikahan dengan Puji --calon suaminya itu-- adalah menghargai setiap usaha orang-orang yang mau-tidak-mau terlibat dalam urusan pernikahan itu.

Dewi mencontohkan, adanya keterlibatan adik-adiknya yang menjadi penari pada pesta pernikahan mereka. Partisipasi itu, menurut Dewi, tidak bisa terbayarkan.

2/
Kepatuhan anak terhadap orang tua ketika suka-atau-tidak, tetap menjalankan hubungan poligami. Pada bagian ini, Maria A. Sardjono menggambarkannya lewat fragmen meminum jamu pengantin.

Awalnya ketika mereka sudah berada di kamar pengantin, Puji seperti mencium aroma yang sedikit tidak sedap. Melihat gelagat itu, Dewi langsung sadar kalau itu bersumber dari jamu yang dibuatkan oleh Ibunya.

Apalagi saat Puji bertanya, "besar khasiatnya?"

Dewi dengan cepat menjawab itu sambil memincingkan matanya, melirik Puji dengan paling hina yang ia bisa. Sebab arah pertanyaan Puji sudah mulai menjurus.

Jamu itu, jawab Dewi, diminum bukan karena khasiatnya --juga bukan karena keinginannya yang bukan-bukan. Jamu itu diminum oleh Dewi karena begitu menghargai orang yang telah membuatnya. Sebuah bentuk rasa hormat dan cinta dari seorang anak kepada orangtua yang masih sempat-sempatnya membuatkan jamu setelah seharian lelah melaksanakan pesta pernikahan.

3/
Tentang cinta yang ada dan tumbuh atau berkurang dalam hubungan poligami.

Bagian ini memang cukup klise. Meski ketika itu Dewi menganalogikan cinta seperti halnya kalkulasi matematika --yang beralasan.

Puji menanyakan Dewi apakah masih mencintainya meski sudah diberlakukan seperti itu. Dewi menjawab, iya. Tidak mungkin, kata Dewi, mau menikahi seorang lelaki yang tidak dicintainya. Hanya saja keutuhannya berkurang.

Yang ingin Dewi perjelas, tentu saja, mungkin saja keutuhan cintanya akan berkurang sampai akhirnya habis tidak tersisa.

"Aku 'kan manusia biasa, Mas. Selama seorang manusia itu masih hidup, selama itu pula ia memiliki keterbukaan terhadap segala kemungkinan," jawab Dewi.

***
Toh, sebenci apapun Dewi terhadap perkawinan orangtuanya yang poligami, ia pun secara terpaksa mengalami dan menjalani hal itu. Tanpa setetes darah yang mengucur, Dewi masih tetap bisa menjaga tubuhnya dari keinginan lelaki seperti Puji.

Pada malam pertama itu, barangkali seperti dalam dongeng 1001 malam: Scheherazade, putri Perdana Menteri Persia yang dipersunting oleh Raja Shahryar. Dewi bertahan dengan sekuat tenaga hingga Puji lelah sampai lebih dulu pergi tidur. Dewi pun menyusulnya dengan memunggunginya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun