"Banyak anak banyak rejeki." Kalimat ini mungkin sudah sangat familiar di telinga kita. Dari generasi ke generasi, ungkapan ini sering terdengar sebagai sebuah nasihat atau bahkan prinsip hidup yang diyakini membawa keberuntungan dan kebahagiaan. Namun, pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya, dari mana sebenarnya kalimat ini berasal? Apakah benar memiliki banyak anak selalu membawa rejeki? Atau justru ada sisi lain yang perlu kita pahami lebih dalam?
Filosofi "banyak anak banyak rejeki" sebenarnya lahir dari kebutuhan zaman dulu. Pada masa kolonial Belanda, terutama di daerah pedesaan, para petani memiliki alasan kuat untuk memperbanyak anak. Anak-anak bukan hanya dianggap sebagai anugerah, tetapi juga sebagai tenaga kerja yang membantu di ladang dan usaha keluarga. Semakin banyak anak, semakin banyak tangan yang membantu, sehingga beban kerja dan pajak yang harus dibayar bisa terbagi rata. Dari situ, muncul keyakinan bahwa setiap anak membawa rejeki dan keberkahan tersendiri bagi keluarga.
Namun, zaman telah berubah. Hidup di era modern dengan biaya hidup yang semakin tinggi, kebutuhan pendidikan dan kesehatan yang kompleks, membuat filosofi ini perlu dipertimbangkan ulang. Di kota-kota besar maupun di desa, kenyataan menunjukkan bahwa memiliki banyak anak bukan lagi jaminan rejeki yang melimpah. Malah sebaliknya, banyak keluarga yang merasa terbebani secara ekonomi dan emosional ketika harus mengurus banyak anak tanpa dukungan yang memadai.
Dalam kehidupan sehari-hari, keluarga besar memang terlihat ramai dan penuh warna. Suara tawa dan canda anak-anak memenuhi rumah, menciptakan suasana hangat yang sulit tergantikan. Namun, di balik keceriaan itu, ada tantangan besar yang sering tersembunyi. Biaya sekolah, kesehatan, makanan, dan kebutuhan sehari-hari bisa menjadi beban yang berat bagi orang tua. Banyak penelitian sosial dan kesehatan menunjukkan bahwa keluarga dengan banyak anak sering kesulitan memenuhi kebutuhan dasar anak-anaknya. Anak-anak dari keluarga besar berisiko mengalami kekurangan gizi, stunting, dan bahkan putus sekolah karena keterbatasan biaya dan perhatian.
Selain itu, beban terbesar sering kali jatuh pada ibu. Mereka harus mengurus rumah tangga, memasak, mencuci, dan merawat anak-anak sekaligus. Hal ini membuat banyak perempuan kehilangan kesempatan untuk belajar, bekerja, atau mengembangkan diri. Padahal, perempuan yang sehat dan mandiri sangat penting bagi kemajuan keluarga dan masyarakat secara umum. Beban yang berat ini juga berpotensi memperkuat ketimpangan gender, di mana perempuan menjadi pihak yang paling terdampak oleh keputusan memiliki banyak anak.
Di sisi lain, tekanan sosial masih kerap membuat pasangan muda merasa harus memiliki banyak anak agar dianggap "normal" atau mendapatkan restu dari lingkungan sekitar. Stigma ini kadang membuat mereka ragu untuk mengambil keputusan yang sebenarnya lebih bijak dan sesuai dengan kondisi keluarga mereka. Padahal, banyak keluarga kecil justru lebih bahagia dan sejahtera karena bisa fokus memberikan perhatian dan pendidikan yang lebih baik bagi anak-anak mereka.
Keluarga kecil memungkinkan orang tua memberikan kasih sayang dan perhatian yang lebih optimal. Anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang mendukung perkembangan fisik, mental, dan emosional mereka secara maksimal. Ini adalah investasi terbaik untuk masa depan anak dan bangsa. Memiliki anak sedikit bukan berarti mengurangi kebahagiaan, melainkan memberi kesempatan bagi setiap anak untuk mendapatkan kehidupan yang berkualitas.
Dalam menghadapi kenyataan ini, penting bagi setiap keluarga untuk mengenali kondisi dan kemampuan mereka. Keputusan memiliki anak sebaiknya didasarkan pada kesiapan ekonomi, waktu, dan energi untuk mendidik serta merawat anak dengan baik. Rejeki memang rahasia Tuhan, tapi tanggung jawab orang tua untuk memastikan anak-anak tumbuh sehat dan berpendidikan adalah hal yang nyata dan harus dijalankan dengan penuh kesadaran.
Pada akhirnya, "banyak anak banyak rejeki" adalah sebuah warisan budaya yang punya makna dalam konteks tertentu di masa lalu. Namun, di era modern ini, kita perlu lebih bijak dan realistis dalam memaknai kalimat tersebut. Rejeki bukan hanya soal jumlah anak, tetapi bagaimana kita bisa memberikan kehidupan terbaik untuk mereka. Keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera akan melahirkan generasi yang kuat, sehat, dan siap menghadapi tantangan masa depan.
Jadi, mari kita hargai setiap anak sebagai anugerah yang berharga. Buatlah pilihan yang terbaik untuk keluarga dan masa depan mereka. Karena kebahagiaan keluarga bukan soal banyak atau sedikit anak, melainkan soal cinta, perhatian, dan tanggung jawab yang kita berikan kepada mereka setiap hari. Dengan begitu, kita tidak hanya mewariskan tradisi, tetapi juga membangun masa depan yang lebih baik bagi anak-anak kita dan bangsa.