Mohon tunggu...
harry ernan
harry ernan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Sometimes you win, sometimes you learn.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Ponsel Pintar dan Manusia Bodoh

14 Desember 2018   03:01 Diperbarui: 14 Desember 2018   10:52 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Kalau ada senjata pemusnah massal di era industry 4.0 seperti sekarang, media sosial boleh jadi salah satunya.  Media sosial sedemikian “menyerang” masyarakat dengan cepat.  Hanya dengan sekali klik, kekuatannya mampu mengubah cara pandang, menjungkirbalikan logika, hingga melemahnya daya nalar otak. Media sosial mampu menggerakan perilaku berjuta-juta orang untuk “bergerak”, bahkan di beberapa negara, media sosial menjadi senjata gerakan revolusi yang efektif di abad 21. Dunia melihat ada perubahan cara berjuang di masyarakat pada abad 21. Revolusi pun kini tak lagi soal senjata atau tank-tank baja. Media sosialah sebagai “bambu runcing”nya.

Kemajuan teknologi komunikasi menghasilkan (ponsel pintar, manusia bodoh). Secara sadar tak sadar etika dan moralitas kita sebagai makhluk sosial mulai bobrok.

Perhatikanlah lingkungan disekitar kita ketika para homo sapiens berkumpul, apakah mereka lebih sering berdialog dengan sesama, ataukah mereka lebih sering berdialog dengan suatu alat yang diagung-agungkan di zaman modern seperti sekarang ini?. 

Tak terbantahkan memang, perlahan demi perlahan secara tak sadar ponsel pintar yang kita agungkan mulai mengikis etika dan moralitas kita sebagai makhluk sosial. 

Di rumah, ketika kita berkumpul dengan keluarga yang seharusnya kita lebih sering berinteraksi dalam ruangan yang terbatas, tapi pada kenyataannya kita malah sibuk sendiri dengan kehidupan "maya" daripada kehidupan nyata.

Skeptisme untuk sekadar bertanya rutinitas yang telah dijalani pada hari itu kian terbangun. Tak ada lagi ruang percakapan yang hangat setelah internet muncul di era modern seperti sekarang ini. Masing-masing sudah asyik dengan dunianya sendiri.

Ketika kita beranjak keluar dari rumah, menunggu di halte bus misalnya, beberapa orang didepan, disamping, ataupun dibelakang kita, menundukan kepala mereka pada alat pintar yang membodohkan kita sebagai makhluk sosial daripada melirik satu sama lain ataupun sekadar mengobrol tentang cuaca hari ini, seolah tak ada ruang untuk berdialektika satu sama lain dalam realitas kehidupan, mereka malah asyik berdialektika dengan dunianya sendiri.

Atau ketika sedang menunggu saat masuk kelas di kampus, tak ada lagi ruang humor yang menghiasi koridor kampus ketika para mahasiswa tertunduk pada kitab modernnya masing-masing tanpa hiasan-hiasan metafora yang mereka buat bersama, mereka malah asyik sendiri mengungkapkan satire-satire dan berfantasi di media sosial dengan teman-teman fiksi mereka daripada membuat ruang diskursus bersama teman-teman nyata disekitar mereka atas berbagai macam persoalan kehidupan nyata.

Atau juga ketika kita sedang berada dikost-kostan, berkumpul dengan teman-teman seperjuangan dengan asyiknya bermain game PUBG, Mobile Legend yang bersifat fiksi, hanya membuang-buang waktu belaka tanpa memikirkan biaya yang telah dikeluarkan oleh orang tua mereka dengan harapan anaknya mampu mengemban tugas sebagai kaum terpelajar diperantauan sana.

Seolah-olah menghiraukan realitas kehidupan kita sebagai kaum intelektual untuk membuka ruang dialog memikirkan berbagai macam hiruk pikuk kehidupan.

Atau membahas berbagai macam persoalan tentang bahayanya perang nuklir, hak-hak asasi manusia, pemanasan global, perang yang tak kunjung usai, wabah yang menewaskan jutaan orang di dunia, tingkat pendidikan yang kurang memadai di perbatasan, bahanya hoaks di media sosial, perang dagang antara Amerika dengan China yang mempengaruhi perekonomian global, bahayanya kelompok terorisme/separatisme yang mengancam kedaulatan suatu negara, perdagangan narkotika transnasional yang merusak generasi bangsa, atau kelaparan yang terus menghantui sejak ribuan tahun silam yang tak kunjung usai, padahal institusi dan sistem sosial telah tercipta sedemikian rupa diberbagai belahan dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun