Mohon tunggu...
Harry Wijaya
Harry Wijaya Mohon Tunggu... Freelancer - Asal Depok, Jawa Barat.

Deep thinker. Saya suka menulis esai, cerpen, puisi, dan novel. Bacaan kesukaan saya sejarah, filsafat, juga novel.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Rumahku Istanaku

8 Januari 2020   18:54 Diperbarui: 8 Januari 2020   18:58 1597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah proyek pembangunan kantor bertingkat terpaksa terhambat dan terhenti pengerjaannya. Para pekerja bangunan tak ada yang masuk, beberapa dari meeka pulang ke kampung masing-masing. Hanya ada beberapa kendaraan berat yang masih terparkir disana. Para mandor pun sudah beberapa hari ini tak ada di lokasi semenjak proyek ini di tunda sementara waktu.

  Semua itu terjadi akibat salah satu kepala keluarga menolak menjual rumah dan tanahnya kepada pihak perusahaan yang akan memulai pembangunan. Semua rumah telah rata dengan tanah, para pemiliknya telah menjualnya kepada perusahaan yang memerlukan lahan. Mereka dibayar dengan harga yang sangat tinggi, yang uangnya dapat untk membangun rumah lebih besar dan tanah yang luas. Kecuali satu, Pak Dedi yang sampai saat ini belum mau menjual rumah dan tanahnya. Bahkan pihak perusahaan sudah menawarkan harga yang lebih tinggi dari rumah lainnya, tapi Pak Dedi dengan tegas menolak.

  Selama beberapa bulan terakhir Pak Dedi hidup seorang diri. Para tetangganya sudah lama meninggalkan wilayah itu. Hanya ada rumah Pak Dedi sendiri, di tengah lapangan tanah merah yang luas dan siap untuk dibangun bangunan bertingkat. Sedangkan anak dan istrinya sudah maninggalkannya beberapa minggu lalu, mereka memilih pulang ke Wonosobo daripada harus mengikuti keinginan Pak Dedi yang bertahan di tengah lahan tanah merah yang luas ini seorang diri, tanpa tetangga. Beberapa warga kampung sebelah memuji dan mendukung sikap tegas Pak Dedi, namun sebagian lainnya mengecap Pak Dedi egois. Namun Pak Dedi tetap teguh bersama prinsipnya. Tak jarang beberapa kali, ada warga yang datang dan memberikannya makanan secara cuma-cuma.

  Setiap kali ada pihak perusahaan yang bermaksud melakukan negosiasi dengan Pak Dedi, Pak Dedi langsung mengusirnya bahkan mengancamnya akan melempar dengan gelas. Menariknya, ada satu kalimat yang selalu keluar dari mulutnya. "Anak sulungku akan pulang dari Hong Kong, saat dia datang aku akan mewarisi rumah ini kepada dia." Begitu ucapannya.

  Pak Dedi masih memiliki anak yang bekerja di sebagai TKW di Hong Kong. Pak Dedi berharap kepada anak pertamanya ini, dialah yang dianggap sebagai penyelamatnya. Yang kelak akan membelanya mempertahankan rumah yang susah payah ia bangun bersama almarhum ayahnya berpuluh-puluh tahun lalu. Pak Dedi selalu duduk di beranda rumahnya, memandangi sebuah padang luas tanah merah sambil berharap anaknya pulang.

  Tiba-tiba Pak Dedi berdiri pada suatu sore karena melihat sebuah mobil yang mengarah ke rah rumahnya. Dengan wajah kesal, Pak Dedi mengeluarkan sebuah stik baseball yang lumayan keras. Matanya melotot menatap datangnya mobil itu.
Saat mobil berhenti, dua orang yang memakai atasan kemeja turun dari mobil dengan hati-hati. Melihat Pak Dedi yang sudah siap menghajarnya, kedua orang itu pun terdiam di mobil.

"Bapak, bapak tenang dulu ya. Kami kesini mau silaturahmi." Kata Orang itu yang bicara dengan hati-hati.

"Iya pak, tenang dulu pak. Kami bawa makanan lho ini. Bakso kesukaan bapak, yang di depan terminal." Ucap orang lainnya.

"Kok kalian tahu saya suka Bakso terminal?" Tanya Pak Dedi.
Kedua orang itu pun perlahan berjalan sedikit demi sedikit mendekat ke arah Pak Dedi. "Iya Pak saya kan tahu dari-" Belum sampai menyelesaikan kalimatnya, Pak Dedi lebih dulu memotong omongannya.

"Jangan coba-coba mendekat. Jangan coba-coba sogok saya, berapapun kalian bayar saya tidak akan jual rumah ini! Sampai matipun tak akan saya jual!" Bentak Pak Dedi sambil menodongkan stik baseball ke arah mereka berdua.

  Dari kejauhan datang sepeda motor yang membawa seorang penumpang perempuan menuju ke arah rumah Pak Dedi. Perempuan itu adalah Risa anak sulung Pak Dedi yang baru pulang dari Hong Kong. Pak Dedi senang bukan main melihatnya, wajahnya yang semula kesal berubah menjadi senang gembira.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun