Mohon tunggu...
Harry Agus Yasrianto
Harry Agus Yasrianto Mohon Tunggu... Guru - Guru Sosiologi di SMA Negeri 1 Berau

Hobi Membaca, Menulis cerita pendek, Travelling,Fotografi, Musik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pelung

28 September 2022   18:42 Diperbarui: 28 September 2022   18:46 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari masih pagi. Getarannya sedikit lambat. Setengah tujuh lewat, Yuyun sudah bersungut. Jengkel. Meneriaki ketiga anak lelakinya. Aku yang sudah terbiasa dengan caci makinya, tetap asik memandikan si jengger merah. Guyuran demi guyuran sudah membasahi semua bulu indahnya. Jenggo, biasanya mudah dimandikan. Tapi pagi ini, agak beda. Ayam pelung ini seperti ketakutan. Meski begitu, aku tetap mengguyurnya dengan air hangat. Lalu memasukannya ke dalam kandang bulat, tempatnya biasa berlatih. Menjemurnya selama setengah jam, kemudian memindahkan ke dalam kandang umbaran agar fisiknya semakin kuat. Kedua sayapnya dikepak-kepakkan ke udara. Lalu berkokok sampai paruhnya menyentuh tanah. Aku sangat menyukai bagian ini. Seperti ada kepuasan tersendiri. Setelah itu, aku masukan si Jenggo ke dalam sangkar yang aku kerek dengan tali setinggi tiga meter. Kerekan itu sengaja aku buat di antara pohon kedondong dan pohon durian agar Jenggo tidak terlalu merasakan hawa panas siang. Setelah mengerek si Jenggo,  kemudian, aku masuk ke dalam kamar mandi. Menyegarkan sekujur tubuhku, dan bersiap-siap bekerja sebagai kuli bangunan.

Beberapa suara gelas plastik membentur dinding. Aku tidak begitu terkejut. Sudah biasa. Yuyun, istriku yang semakin hari semakin gempal ini memang rajin. Setiap hari, dia tidak bosan membangunkan secara paksa ketiga buah hati kami, Artha, Syailendra dan Raya. Setiap hari, teriakan Yuyun mereka anggap sebagai alarm kehidupan. Satu, dua, tiga. Benturan keras keempat, seperti dipandu irama orkestra, mereka secepat kilat berebut ke arah kamar mandi. Lima belas menit, tepatnya, setelah aku keluar dari kamar mandi yang sempit ini, mereka berlarian. Tidak ada yang mau mengalah. Selalu begitu, setiap paginya. Tidak ada yang berubah sedikitpun.

“Satu-satu. Gantian,” teriak istriku.

Biasanya si Kakak yang lebih dahulu mandi, disusul yang nomor dua. Baru, si adik yang terakhir. Semua langkah seakan sudah seirama. Sudah terkondisikan. Jarum jam sudah mengarah ke angka tujuh. Mereka panik. Topi, dasi, baju, celana dan sepatu terpasang seadanya. Mereka pamit. Mencium tanganku. Merogoh kantung bajuku. Mengambil uang ribuan. Lalu, berhamburan menggenjot sepedanya masing-masing.

“Beras sudah habis, Kang.”

“Iya, aku tahu.”

“Tahu. Tahu. Tahu. Kapan gajian, katamu kemarin sudah gajian. Tapi, belum sepeserpun aku terima. Mana ?”

“Sabar. Insya allah, hari ini gajian. Mandor bilang, kemarin bank sudah tutup. Jadi, gak sempat mengambil duit.”

“Walah, alasan saja itu. Jangan-jangan mandormu itu culas. Sama seperti mandor-mandormu sebelumnya. Uang upahnya sudah diterima, tapi dihabiskannya sendiri. Masih inget gak ? Atau ini akal-akalanmu saja. Uangnya sudah kamu habiskan untuk bermain perempuan nakal di belakang terminal sana.”

“Bawel.”

“Aku ini lagi pusing, Kang. Si Raya minta duit buat beli buku. Semua temannya sudah bayar, tinggal dia yang belum. Dia malu ditagih terus sama gurunya.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun