Lima menit lalu, senja menutup langkahnya. Awan baru saja melampirkan jubah hitamnya. Rintik hujan sudah dimulai. Gertakan air bergerak menghentak-hentak. Agyas gelisah. Hatinya naik turun. Sesekali dikibaskan rambutnya yang panjang. Kecemasan begitu kentara. Raut wajahnya tidak karuan. Matanya sering menoleh ke bilik kamar. Harry, adik iparnya kebingungan melihat lelaki dekil di hadapannya itu.
“Ambilkan kapur sirih di laci atas,” suara Mamak muda setengah berteriak ke arah lelaki dekil itu.
Agyas segera mengangkat tubuhnya ke atas. Berjalan cepat ke arah laci yang dimaksud. Tangannya bergerak cepat menyerahkan kapur sirih ke balik kamar.
“Periksa sekeliling rumah. Pasang telingamu rapat-rapat,” kata Mamak muda kemudian.
Agyas mengangguk. Harry mengikuti langkah kakak iparnya itu. Pijakan kaki keduanya terdengar jelas di atas lantai papan ulin.
“Bawa penerang. Dia biasa bersembunyi di bawah kolong rumah,” Mamak muda melanjutkan.
Lelaki dekil itu cepat menarik lampu penerang di dekat pintu. Dia menuruti semua perkataan adik mertuanya itu. Seorang wanita cantik. Seorang dukun beranak di kampung Suaran. Usianya hanya terpaut lima tahun lebih tua dari Agyas. Kemampuannya menguasai persalinan di kampung ini patut diacungi jempol. Pengetahuannya sungguh luar biasa.
“Jangan lengah, dengarkan sungguh-sungguh. Dia biasanya bersuara seperti bebek,” teriak Mamak muda.
Kedua lelaki itu melangkah ke luar rumah. Berkeliling. Menerangi kolong rumah. Tanah masih terlalu basah untuk dipijaki. Dua pasang mata lelaki itu tidak pernah terlepas dari bawah rumah. Mereka nampak serius melihat sekeliling rumah. Agyas sibuk menerangi. Harry memeriksa semua sisi.
“Itu dia. Sorot ke arah sana,” teriak Harry sambil merebut lampu penerang dari tangan kakak iparnya itu.
Lelaki dekil itu mengambil balok ukuran lima kali tujuh sentimeter. Memukul kuat ke bawah kolong rumah. Suara bebek sedang menghisap air parit jelas terdengar.