Mohon tunggu...
Harry Agus Yasrianto
Harry Agus Yasrianto Mohon Tunggu... Guru - Guru Sosiologi di SMA Negeri 1 Berau

Hobi Membaca, Menulis cerita pendek, Travelling,Fotografi, Musik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kuyang

16 September 2022   02:04 Diperbarui: 16 September 2022   02:09 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lima menit lalu, senja menutup langkahnya. Awan baru saja melampirkan jubah hitamnya. Rintik hujan sudah dimulai. Gertakan air bergerak menghentak-hentak. Agyas gelisah. Hatinya naik turun. Sesekali dikibaskan rambutnya yang panjang. Kecemasan begitu kentara. Raut wajahnya tidak karuan. Matanya sering menoleh ke bilik kamar.  Harry, adik iparnya kebingungan melihat lelaki dekil di hadapannya itu. 

“Ambilkan kapur sirih di laci atas,” suara Mamak muda setengah berteriak ke arah lelaki dekil itu. 

Agyas segera mengangkat tubuhnya ke atas. Berjalan cepat ke arah laci yang dimaksud. Tangannya bergerak cepat menyerahkan kapur sirih ke balik kamar.

“Periksa sekeliling rumah. Pasang telingamu rapat-rapat,” kata Mamak muda kemudian.

Agyas mengangguk. Harry mengikuti langkah kakak iparnya itu. Pijakan kaki keduanya terdengar jelas di atas lantai papan ulin.

“Bawa penerang. Dia biasa bersembunyi di bawah kolong rumah,” Mamak muda melanjutkan.

Lelaki dekil itu cepat menarik lampu penerang di dekat pintu. Dia menuruti semua perkataan adik mertuanya itu. Seorang wanita cantik. Seorang dukun beranak di kampung Suaran. Usianya hanya terpaut lima tahun lebih tua dari Agyas. Kemampuannya menguasai persalinan di kampung ini patut diacungi jempol. Pengetahuannya sungguh luar biasa.

“Jangan lengah, dengarkan sungguh-sungguh. Dia biasanya bersuara seperti bebek,” teriak Mamak muda.

Kedua lelaki itu melangkah ke luar rumah. Berkeliling. Menerangi kolong rumah. Tanah masih terlalu basah untuk dipijaki. Dua pasang mata lelaki itu tidak pernah terlepas dari bawah rumah. Mereka nampak serius melihat sekeliling rumah. Agyas sibuk menerangi. Harry memeriksa semua sisi.

“Itu dia. Sorot ke arah sana,” teriak Harry sambil merebut lampu penerang dari tangan kakak iparnya itu.

Lelaki dekil itu mengambil balok ukuran lima kali tujuh sentimeter. Memukul kuat ke bawah kolong rumah. Suara bebek sedang menghisap air parit jelas terdengar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun