Mohon tunggu...
Harrist Riansyah
Harrist Riansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lulusan Jurusan Ilmu Sejarah yang memiliki minat terhadap isu sosial, ekonomi, dan politik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Masyarakat Urban di Kota Pesisir Sumatera pada Abad XVI

22 November 2022   16:00 Diperbarui: 22 November 2022   15:59 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masyarakat di Pasar Bukittinggi Tahun 1938. Sumber: New York Public Library Digital Collections

Kondisi Ekonomi dan Politik di Pesisir Pantai Sumatera Pada Abad ke 16 

Kondisi mengenai masyarakat urban di Pesisir pantai Sumatera pada abad ke 16 tentu sangat dipengaruhi oleh kondisi politik dan ekonomi kerajaan-kerajaan di Sumatera dan Semenanjung Malaya. Lokasi Sumatera yang strategis membuat daerah-daerah dipesisirnya singgahi oleh banyak pelayar dan pedagang dari penjuru dunia. 

Daerah-daerah pesisir pantai ini lambat laun berkembang menjadi Pelabuhan-pelabuhan sebagai sarana para pelayar singgah dipesisir pantai Sumatera.  Di Sumatera, selusin pelabuhan yang merdeka berkembang menjadi negara yang efektif, dan hanya yang terletak di sebelah Tenggara mengirim upeti ke Melaka atau ke Jawa.

Menurut catatan Tome Pires dalam bukunya yang berjudul "Suma Oriental" dipulau Sumatera terdapat 19 reino (Kerajaan) dan 11 terra (negeri atau negara). Dimana 20 diantaranya berada di kawasan timur. Alasan Kawasan timur memiliki Kerajaan atau negara yang lebih banyak dibandingkan tempat lain di Sumatera karena lokasinya yang berdekatan dengan Selat Malaka, jalur laut tersibuk sejak awal millennium pertama, dan juga terletak pada perairan Selat Bangka dan Selat Karimata yang menjadi jalur pelayaran menuju ke dari dari Indonesia bagian tengah serta timur. Di samping itu, dilihat dari peta siklus angin monsoon dan arus laut, kawasan timur Sumatera merupakan tempat yang paling yang tepat untuk menunggu perubahan arah angin.

Pada awal abad ke 16 kondisi kerajaan-kerajaan Islam yang berada di Sumatera dan Semenanjung Malaya saling bersaing di Pelabuhan-pelabuhan dagang mereka dengan menerapkan peraturan yang nyaris sama. Misalnya Melaka-Melayu yang mengenakan pajak 6 persen atas barang-barang impor yang berasal dari kapal-kapal yang datang dari negeri-negeri di atas angin, tetapi hanya 1 hingga 2 persen upah timbang atas barang-barang yang diekspor. Kapal-kapal Asia Tenggara dan Asia Timur dibebaskan dari pajak impor dan ekspor tetapi diharuskan menjual 25 persen dari barang-barang impor yang mereka bawa kepada raja seharga 20 persen di bawah harga pasar, sedangkan raja mengeluarkan barang*barang yang diekspor dengan harga 20 persen di atas harga pasar. Dengan demikian sistem ini, yang dikenal dengan nama beli-belian (saling membeli), sama dengan pajak 5 persen atas barang-barang yang diimpor dan diekspor.

Dan abad ini juga terjadi lonjakan permintaan akan lada di dunia, hal ini membuat daerah-daerah di India maupun di Indonesia (khusunya di Sumatera) berusaha memenuhi permintaan itu lada pun meluas dari Sumatera Utara menyebar ke pantai barat pulau itu, masuk ke pedalaman Minangkabau, dan menyeberang ke Semenanjung Malaya.

Sedangkan dalam bidang politk daerah-daerah disekitar Selat Malaka (maupun itu di Sumatera atau di Semenanjung Malaya), sempat mangalami ketegangan dengan armada laut bangsa Portugis yang ingin menguasai kota Malaka. Alasan bangsa Portugis ingin menguasai Malaka dikarenakan Malaka merupakan pelabuhan besar untuk perdagangan komoditas berharga di dunia. Jung-jung dari cina yang datang membawa barang dari asalnya seperti emas, berlian, dan kain sutra. Maupun kapal-kapal yang berasal dari Kepulauan Nusantara yang lain (Jawa, Kalimantan, Maluku, Sumatera) yang banyak membawa rempah-rempah seperti lada, pala, dan cengkeh. Dan alasan lainnya ialah karena Malaka merupakan kota yang banyak ditempati oleh para pedagang muslim yang merupakan musuh utama dari bangsa Portugis.

 Dengan jatuhnya Malaka ke tangan bangsa Portugis pada tahun 1511, Aceh memiliki peranan penting dalam di bagian utara Pulau Sumatera. Pengaruh Aceh meluas dari Barus disebelah utara hingga ke selatan di dearah Indrapura. Dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis dan banyaknya daerah-daerah kekuasaan Malaka yang mulai memisahkan diri dari Kerajaan Malaka, dimanfaatkan oleh Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Ali Muqhayat Syah untuk memperluas kekuasaannya ke daerah-daerah disekitarnya.

Sedangkan itu bangsa Portugis tidak terlalu mendapatkan keuntungan dari menguasai kota Malaka. Dengan dikuasainya Malaka justru membuat munculnya keadaan di mana perdagangan menjadi tersebar di beberapa pusat lainnya. Patani, Johor, Pahang, Aceh, Banten, merupakan pelabuhan-pelabuhan yang paling banyak mendapatkan keuntungan dari jatuhnya Malaka.

Kondisi Masyarakat di Pesisir Pantai Sumatera pada abad ke-16

Seperti yang sudah dijelaskan di pembahasan sebelumnya bahwa kota-kota yang berada di pesisir pantai Sumatera ini terbentuk dari hasil perdagangan dan pelayaran yang mengakibatkan daerah-daerah pesisir mengalami pertumbuhan (maupun dari segi ekonomi dan penduduk) yang pesat akibat kegiatan perdagangan yang terjadi antara pedagang pribumi dan pedagang pendatang. Dari kota-kota inipun pula muncul kerajaan-kerajaan maritim bercorak Islam.  Kota-kota ini biasanya indentik dengan sebutan kota Pelabuhan ataupun kota perdagangan inipun memunculkan suatu kawasan baru yang disebut kampung yang diisi oleh suatu bangsa tertentu, seperti di kota Aceh, menurut laporan dari Davis pada abad ke 16 di Aceh terdapat perkampungan orang-orang Portugis, Gujarat, Arab, Benggala, dan pegu. Selain perkampungan para pendatang ini di Aceh juga terdapat perkampungan khusus untuk profesi tertentu seperti Kampung Pande.

Sementara itu terkait jumlah penduduk menurut catatan Tome Pires kota-kota di Sumatera seperti kota pasai dia mengatakan bahwa penduduknya tidak kurang dari 200.000 orang. Sedangkan untuk kota Palembang Pires mengatakan penduduknya diperkirakan berjumlah 10.000 orang. Sementara itu kota-kota lain di Sumatera seperti Aceh, Pedir, Aru, Baros, Indragiri, Siak, dan kota lainnya tidak dijelaskan oleh Tome Pires, dia lebih menitik beratkan terkait barang ekspor dan impor disetiap wilayah.

Kemudian setiap kota yang ada terdapat pasar-pasar tempat bertemunya para pedagang dari berbagai wilayah, bisa dari pedalaman Sumatera maupun berasal dari bangsa lain. Pasar yang berada dipusat kota maupun yang berada dibagian kota yang lain memiliki peranan penting dalam ekonomi masyarakat kota. Bagi golongan atas pasar merupakan sumber pendapatan terurama bagi kalangan kerajaan. Di pasar sendiri sangat tergantung dengan konsesi-konsesi serta jaminan-jaminan perlindungan dari penguasa atau raja. Para raja atau penguasa ini selalu tertarik dalam hal ini karena mereka mengharapkan memperolah keuntungan dari perkampungan pedagang-pedagang serta kemampuan pedagang untuk membayar cukai pasar yang ada.  

Periode yang Anthony Reid sebut sebagai "kurun niaga," dari abad ke-15 hingga abad ke-17, merupakan periode yang jaringan pelayarannya sangat ramai. Ia berpendapat bahwa kota-kota maritim yang saling berhubungan di kawasan ini lebih dominan pada periode ini dibandingkan pada periode sebelum maupun sesudahnya. Lagi pula, selama beberapa waktu pusat niaga pantai (entre pot) yang terpenting ialah Sriwijaya, kemudian digantikan oleh Pasai, Malaka, Johor, Patani, Aceh, dan Brunei. Dengan demikian bahasa Melayu menjadi bahasa niaga utama di seluruh Asia Tenggara. Kelas pedagang kosmopolitan dari kota-kota niaga besar di Asia Tenggara lalu dikenal sebagai orang Melayu, sebab mereka menggunakan bahasa itu (dan memeluk Islam), kendati leluhurnya mungkin saja orang Jawa, Mon, India, Cina, atau Filipina.

Lalu jatuhnya Melaka ke tangan Portugis dan perluasan Aceh hingga ke pantai barat Sumatera, sebagian besar emas Minangkabau ini dibawa ke Aceh melalui Pelabuhan Tiku dan Pariaman. Hal ini memberikan kekayaan luar biasa kepada raja Aceh yang terkuat, Sultan Iskandar Muda (1607-1636), yang terkenal pernah memiliki seratus bahar emas.

Pada bidang berpakaian daerah-daerah di Sumatera cenderung menggunakan pakaian yang berasal dari para pedagang yang datang untuk menjual barang dagang mereka termasuk dengan pakaian yang biasanya ditukar dengan lada atau komoditas lain yang berasal dari Sumatera.

Sumber:

  • Andaya, L. Y. (2019). Selat Malaka, Sejarah Perdagangan dan Etnisitas. Depok: Komunitas Bambu.
  • Asnan, G. (2018, December). Lanskap Budaya Maritim Sumatera. Makalah: Seminar Nasional Universitas Negeri Medan.
  • Cortesao, A. (2018). Suma Oriental Karya Tome Pires: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina & Buku Francisco Rodrigues. (A. Perkasa, & A. Pramesti, Trans.) Yogyakarta: Penerbit Ombak.
  • Jerome Robbins Dance Division, The New York Public Library. (1938). Minangkabau - People and Architecture Retrieved from https://digitalcollections.nypl.org/items/510d47dd-d3a8-a3d9-e040-e00a18064a99
  • Poelinggomang, D. E. (2012). Bahan Ajar Sejarah Maritim Dunia. Makassar: Lembaga Kajian Dan Pengembangan Pendidikan (LKPP).
  • Poesponegoro, M. D. (1984). Sejarah Nasional Indonesia Jilid III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Reid, A. (2011). Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1: Tanah di Bawah Angin. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
  • Reid, A. (2011). Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 2: Jaringan Perdagangan Global. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun