Mohon tunggu...
Harrist Riansyah
Harrist Riansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lulusan Jurusan Ilmu Sejarah yang memiliki minat terhadap isu sosial, ekonomi, dan politik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perdagangan di Kesultanan Aceh pada Abad XVI

4 Oktober 2022   16:24 Diperbarui: 4 Oktober 2022   17:22 1713
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Shutterstock.com

Ini merupakan lanjutan dari Artikel sebelumnya yang berjudul Kondisi Sosial Politik Kesultanan Aceh pada Abad XVI.

Perdagangan di Kesultanan Aceh pada Abad XVI

Wilayah antara Aceh hingga Pedir terkenal dengan daerah penghasil daging, beras, anggur, dan merica dengan kekhasannya tersendiri. Meski tidak memiliki komoditas yang banyak dan tidak terlalu diminati oleh para pedagang asing tetapi Aceh tetap disinggahi oleh banyak pedagang dari berbagai negeri, Aceh masih diminati oleh para pedagang sebagai tempat transit mereka mengingat lokasinya yang berada di Selat Malaka dan bersaing dengan pelabuhan-pelabuhan transito lain yang berada di Selat Malaka.

Penaklukkan kota Malaka oleh Portugis seperti yang sudah dibahas sebelumnya membuat pusat perdagangan mulai bergeser yang semula berpusat pada kota Malaka pindah ke kota-kota di sekitar Selat Malaka. Hal ini terjadi karena Portugis melakukan monopoli di kota Malaka dan ketidakmampuan Portugis dalam mengamankan jalur perdagangan sepanjang Selat Malaka dari bahaya perompak sehingga banyak para saudagar yang mengalihkan rute pelayarannya yang semulanya melalui Selat Malaka justru menggunakan rute baru yakni melalui pantai barat Sumatera hingga Koromandel dan dari kambay hingga ke Laut Merah.

Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis dimanfaatkan dengan baik oleh Aceh dengan tetap menjadi Pasai sebagai pelabuhan penting dan tetap menggunakan mata uang pasai yang sudah mapan sebagai alat pembayaran dalam perdagangan. Uang pasai sendiri berupa koin-koin kecil yang terbuat dari timah dan terbuat dari cap dari raja yang berkuasa dan ada juga koin-koin emas yang disebut Drama.

Alasan tetap menggunakan mata uang Kerajaan Pasai ini mengingat kerajaan Pasai sebelum dikuasai oleh Aceh merupakan kerajaan kaya karena banyaknya pedagang muslim singgah disana setelah ditalukkannya Malaka dan juga adanya perang Aceh dengan Pedir sehingga banyak pedagang muslim yang berasal dari Rum, Turki, Arab, Persia, Gujarat, Keling, Melayu, Jawa, dan Siam memilih Pasai sebagai tempat berlabuh selain kondisi yang strategis juga aman dari adanya perang yang terjadi di daerah lain di sekitar Selat Malaka.

Selain itu keberhasilan Aceh dalam melakukan penanaman benih lada dari Malabar. Hal ini sangat menguntungan bagi Aceh mengingat pada abad ini terjadi lonjakan permintaan lada, cengkeh, dan pala di pasar internasional. Selain itu Sultan Aceh yang berkuasa yaitu Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukamil (1537--1568) dan Sultan Iskandar Muda (1607--1636) selalu mengusahakan menarik para pedagang asing untuk singgah di Aceh dengan memastikan pasokan lada, timah, gajah. Kedua Sultan tersebut juga menalukkan daerah-daerah penghasil lada di pesisir barat dan timur Sumatera, serta penghasil timah yaitu Perak dan Kedah di Semenanjung Malaya.

Pada tahun 1560 diperkirakan ada sekitar 1.250 hingga 2.000ton lada yang berasal dari Sumatera dan diangkut melalui rute pantai barat Sumatera hingga ke Mesir, hal ini tentu saja memberikan kerugian bagi Portugis karena rute melalui Selat Malaka terlihat semakin dihindari oleh para pedagang terutama pedagang muslim yang memilih menggunakan rute baru yang dinilai lebih murah dibandingkan melalui Selat Malaka.

Sedangkan kondisi pasar-pasar di kota-kota Kesultanan Aceh mayoritas diurus oleh perempuan, para lelaki hanya berada di pasar jika barang-barang dagangan yang dihasilkan dan berkaitan dengan urusan laki-laki, seperti senjata dan perkakas. Meski demikian di pasar-pasar Aceh banyak ditemukan para pedagang laki-laki asing yang berjualan yang dimana orang-orang tersebut berpakaian seperti orang Turki, Nagapattinam, Gujarat, Tanjung Kormorin, Kalikut, Srilanka, dan berbagai tempat lain di dunia. Para saudagar ini menjual barang dagangannya yang berupa sutra, benang, kapas, porselin, obat-obatan, dan batu mulia.

Komunitas-komunitas pedagang Asing di Aceh ini ada yang mampu memberikan peranan penting dalam perkembangan perdagangan di Aceh. Salah satunya pedagang India spesifiknya dari pesisir Koromondel. Para pedagang Koromondel pada abad ke-16 dan ke-17 menjadikan Aceh sebagai pusat perdagangan mereka di Asia Tenggara. Para pedagang Koromondel ini membawa beras, besi, baja, nila, beberapa budak dan juga tekstil yang memang daerah Koromondel terkenal dengan tekstil mereka yang berkualitas dari segi desain dan warna. Barang-barang dagangan yang mereka bawa ditukar dengan lada, timah, gading, gajah, cengkih, buah pala, dan bunga pala.

Ada juga pedagang muslim Gujarat yang setelah Malaka diambil alih Portugis pada 1511 mengalihkan perdagangannya ke Aceh karena mereka bisa mendapatkan komoditas seperti lada, bunga pala, cengkih, timah, emas, dan komoditas lainnya.

Pada akhir abad ke-16 para penguasa dan bangsawan Golkanda turut berinvestasi dalam pelayaran dan perdagangan. Hal ini yang kemudian mendorong para orang muslim khususnya orang Persia dan Golkanda menyediakan sumber daya untuk melakukan pelayaran dan perdagangan yang terbentang dari Koromondel Utara dan berpusat di Masulipatnam di pelabuhan-pelabuhan Asia Tenggara khususnya Aceh. Aceh pun menghargai arus perdagangan dari Golkanda dan mengirimkan agen permanen di Masulipatnam, begitu pula dengan Golkanda yang menempatkan agen di Aceh.

Daftar Pustaka:

Andaya, L. Y. (2019). Selat Malaka, Sejarah Perdagangan dan Etnisitas. Depok: Komunitas Bambu.

Cortesao, A. (2018). Suma Oriental Karya Tome Pires: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina & Buku Francisco Rodrigues. (A. Perkasa, & A. Pramesti, Trans.) Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Muhzinat, Z. (2021). Perekonomian Kerajaan Aceh Darussalam Era Sultan Iskandar Muda. Tsaqofah dan Tarikh: Jurnal Kebudayaan dan Sejarah Islam, 5(2), 73--82.

Poesponegoro, M. D. (1984). Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Balai Pustaka.

Reid, A. (2011). Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450--1680 Jilid 2: Jaringan Perdagangan Global. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

--- --- --- --- , (2014). Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450--1680 Jilid 1: Tanah di Bawah Angin. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun