"Wah, musim bediding! Akhirnya bisa pakai jaket tanpa dikira mau ke puncak!"
Begitulah antusiasme warga Palembang tiap suhu mulai turun. Musim bediding bukan cuma soal cuaca yang mendadak sok Eropa, tapi juga soal momen-momen kecil yang bikin hati menghangat... meski ujung kaki tetap dingin.
Saat udara sejuk mulai menyusup lewat celah jendela, manusia pun berubah jadi dua tipe: yang mendadak jadi chef dadakan karena pengen makan yang hangat-hangat, dan yang langsung meringkuk di sofa sambil bilang, "Netflix dan selimut, yuk?"
Bayangkan ini: duduk di ruang tamu bareng teman atau keluarga, sepiring pempek kapal selam mengepul di tengah meja, sambal cuko mengundang. Tawa pun pecah, bukan karena lawakan, tapi karena ada yang kepedesan level akut. Inilah musim bediding versi lokal---dinginnya dapet, hangatnya dobel.
Dan kalau kamu tim menyendiri, jangan khawatir. Duduk di sudut rumah, nonton film jadul sambil nyeruput teh jahe juga sah! Malah kadang lebih bermakna. Ada momen ketika keheningan dan teh jahe berkolaborasi menciptakan filosofi hidup baru (atau minimal bikin kamu sadar kalau gas elpiji hampir habis).
Kata Albert Camus, seorang filsuf yang mungkin juga pernah kedinginan,
"In the depth of winter, I finally learned that within me there lay an invincible summer."
(Di musim dingin paling dalam, aku sadar dalam diriku ada musim panas yang tak terkalahkan.)
Nah, musim bediding ini bisa jadi waktu yang pas untuk nemuin "musim panas" dalam diri sendiri. Entah itu lewat makanan, tawa bersama orang tersayang, atau me time dengan cemilan dan playlist mellow favorit.
Intinya sih satu: jangan cuma fokus sama dinginnya cuaca. Fokus juga sama hangatnya suasana. Karena musim bediding bukan akhir segalanya, tapi justru awal dari banyak hal yang bisa dikenang.