"Rumah bukan hanya tempat tinggal, melainkan tempat pulang." Ujar Bambang Brodjonegoro, ekonom dan pengamat tata ruang. Rumah adalah ruang batin yang mewujud dalam bentuk fisik. Sayangnya, tidak semua orang punya kemewahan untuk sekadar "pulang" ke tempat yang layak.
Di tengah melambungnya harga tanah dan properti, program rumah subsidi hadir bak oasis di tengah padang tandus. Namun, rumah subsidi bukan sekadar bangunan murah dengan atap seng dan tembok tipis. Ia harus mampu menjadi tempat yang nyaman, aman, dan mudah dijangkau---bukan bikin stres sebelum sampai.
Nyaman itu hak, bukan bonus.
Rumah subsidi ideal seharusnya memperhatikan kenyamanan penghuninya. Bukan cuma soal ukuran, tapi juga soal tata ruang yang efisien dan sehat. Bayangkan sirkulasi udara yang baik, cahaya matahari yang cukup, dan material bangunan yang tak mudah rewel. Rumah yang baik harus bikin betah, bukan malah bikin masuk angin.
Ruang keluarga yang lapang, kamar anak yang cukup, dan dapur yang bersih---ini bukan kemewahan, tapi kebutuhan dasar. Rumah subsidi idaman bukan tempat numpang tidur, tapi tempat hidup dan tumbuh.
Aman itu kebutuhan, bukan kebetulan.
Siapa pun pasti ingin tinggal di lingkungan yang tenang dan tidak bikin waswas. Rumah subsidi ideal harus punya sistem keamanan yang memadai: pagar, penerangan jalan, dan komunitas warga yang saling menjaga. Lokasinya pun harus dipilih dengan bijak, jauh dari potensi bencana alam dan risiko sosial.
Tak lucu jika rumah murah justru dibangun di tempat langganan banjir, atau jauh dari jangkauan petugas darurat. Rumah adalah tempat untuk merasa terlindungi, bukan untuk selalu bersiaga seperti pasukan oranye saat musim hujan tiba.
Akses mudah, hidup pun tak ribet.
Seringkali, rumah subsidi dibangun di lokasi yang "murah karena susah dijangkau". Ini yang harus diubah. Rumah subsidi idaman harus dekat dengan transportasi umum, sekolah, pasar, dan fasilitas kesehatan. Jangan sampai penghuni merasa seperti tinggal di "planet lain" yang sinyal ojek online pun malas mampir.