Saat suhu udara mulai menggigilkan tulang, orang-orang ramai mengeluarkan jaket tebal, selimut flanel, dan stok minuman jahe. Tapi musim bediding---yang dalam istilah Jawa merujuk pada hawa dingin menusuk saat kemarau---lebih dari sekadar cuaca. Ia adalah momen kultural yang mengajak kita menengok ulang: apa saja sih yang bisa kita hangatkan di musim sedingin ini?
Bagi sebagian besar masyarakat, bediding bukan hanya fenomena fisik, tapi pengalaman sosial dan emosional. Di rumah-rumah sederhana, orang tua mengajak anak-anak duduk melingkar, berbagi cerita dan teh hangat. Dalam percakapan-percakapan kecil itulah, kehangatan justru diciptakan.
Suhu yang menurun sering kali mendorong kita untuk masuk ke dalam ruang batin. Di tengah udara dingin, diam jadi lebih dalam, dan pikiran lebih jernih. Tak heran bila banyak seniman dan pemikir besar justru melahirkan karya agung di tengah musim sunyi. Seperti yang pernah dikatakan oleh filsuf Denmark Sren Kierkegaard, "Hidup hanya dapat dipahami dengan melihat ke belakang, tetapi harus dijalani dengan melihat ke depan." Musim dingin adalah waktu yang tepat untuk menoleh ke belakang---merenungi jalan yang telah kita tempuh, sambil merancang langkah ke depan dengan lebih hangat dan sadar.
Dalam kebudayaan lokal, bediding juga sering dikaitkan dengan perayaan dan ritual. Di dataran tinggi Dieng, misalnya, tradisi Ruwatan Anak Gimbal diadakan pada musim sejuk, sebagai simbol penyucian dan pelepasan beban masa lalu. Di momen seperti ini, kita diingatkan bahwa manusia dan alam saling terhubung---bahwa perubahan cuaca pun bisa menjadi bagian dari siklus kehidupan spiritual.
Namun musim bediding tak hanya tentang refleksi dan budaya. Ia juga menguji rasa empati kita. Tak semua orang punya cukup selimut atau dapur hangat. Tak semua punya teman untuk berbagi cerita. Di sinilah peran kita dibutuhkan: menyapa tetangga yang jarang disapa, berbagi makanan hangat untuk yang membutuhkan, atau sekadar mengirim pesan "apa kabar?" pada teman lama yang mungkin kesepian.
Musim dingin bukan hanya tentang tubuh yang menggigil, tetapi juga hati yang bisa menghangatkan. Seperti kata Jalaluddin Rumi, "Jangan tinggalkan hatimu di musim dingin. Bawa dia dekat ke api, biarkan dia mencair dan hidup kembali."
Jadi, di tengah dinginnya udara, mari kita hangatkan bukan hanya badan, tapi juga pikiran, relasi, dan kasih yang kadang terlupa. Karena bediding hanyalah suhu, tapi kehangatan---itulah pilihan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI