Rumah subsidi adalah mimpi berjuta rakyat yang disulap jadi program unggulan pemerintah.Â
Namun di balik brosur penuh warna dan tagline manis "rumah untuk semua", banyak yang justru mendapat kenyataan pahit: kualitas rendah, lokasi jauh dari mana-mana, dan sistem pembelian seperti main cepat-cepatan rebutan kuota. Rumah subsidi kini lebih mirip lotere sosial --- siapa cepat, dia dapat; siapa telat, gigit jari.
Ekspektasi Warga, Realita Developer
Saat masyarakat mendengar istilah "rumah subsidi", ekspektasinya sederhana: harga terjangkau, kualitas layak, dan lingkungan yang bisa disebut "rumah". Sayangnya, dalam banyak kasus, realitasnya jauh dari itu.
Laporan berbagai lembaga pemantau perumahan mengungkap lebih dari 40% rumah subsidi mengalami keluhan struktural dalam lima tahun pertama. Bocor, retak, kusen keropos, hingga toilet yang tidak berfungsi bukan lagi cerita langka --- melainkan narasi umum.
Sementara itu, banyak unit rumah subsidi dibangun di lokasi yang bahkan Google Maps pun butuh berpikir dua kali untuk memuatnya.Â
Jauh dari kota, minim transportasi publik, dan nihil fasilitas umum. Alih-alih mempercepat mobilitas sosial, rumah subsidi justru memperkuat isolasi ekonomi.
Data Tak Pernah Bohong, teapi Sering Diabaikan
Mari bicara angka.
Per 2024, backlog perumahan Indonesia --- alias jumlah keluarga yang belum memiliki rumah layak --- masih di angka 12,7 juta unit. Pemerintah memang terus menggembar-gemborkan program sejuta rumah, namun faktanya, realisasi rumah subsidi hanya mencapai sekitar 220 ribu unit per tahun.