Rumah Subsidi: Murah Tapi Nggak Murahan, Bisa Nggak?
Kalau boleh jujur --- dan saya sedang sangat boleh --- rumah subsidi itu ibarat cinta pertama: penuh harapan, tapi kadang bikin kecewa.
Dengar-dengar, Kementerian PKP mau bikin aturan baru: rumah subsidi jadi 18 meter persegi, tanah 25 meter persegi. Katanya sih biar cicilan bisa ditekan jadi Rp 600 ribu. Menarik? Iya. Tapi ini rumah, bukan kapsul tidur Jepang. Kita butuh ruang buat hidup, bukan cuma buat numpang napas!
Pertanyaan utama saya: apakah ini solusi, atau kompromi yang terlalu jauh? Cicilan ringan memang membantu, tapi kalau rumahnya cuma sedikit lebih besar dari tempat parkir mobil tetangga, ya jangan harap nyaman tinggal lama-lama.
Soal lokasi, ini juga PR besar. Rumah subsidi seringnya dibangun di antah berantah --- jauh dari transportasi, sekolah, bahkan warung Indomie 24 jam! Akhirnya yang murah di depan, mahalnya di belakang: ongkos, waktu, dan tenaga buat ke tempat kerja jadi lebih besar dari cicilannya sendiri. Ironis, bukan?
Lalu kualitas bangunan. Pernah dengar suara tembok retak saat batuk? Saya pernah. Bukan horor, tapi rumah subsidi yang dibangun asal jadi. Harapan besar itu ambruk --- kadang literally.
Tapi saya nggak mau sekadar mengeluh. Pemerintah sudah usaha, kita apresiasi. Tapi mari juga sama-sama dorong agar rumah subsidi nggak cuma "terjangkau", tapi layak huni. Artinya:
Ukuran cukup buat hidup, bukan sekadar bertahan.
Kualitas bangunan yang tahan lebih dari musim hujan.
Lokasi yang masuk akal, bukan di zona akhirat urban.