Kepemilikan rumah adalah impian hampir setiap orang. Namun, bagi Generasi Z---yang lahir sekitar tahun 1997 hingga awal 2010-an---impian itu kerap terasa seperti bayangan di kejauhan.Â
Di tengah gempuran tren digital, gaya hidup konsumtif, dan realitas ekonomi yang tak semanis cerita Instagram, generasi ini menghadapi kenyataan pahit: sulitnya mengambil Kredit Pemilikan Rumah (KPR).Â
Fakta ini bukan sekadar keluhan generasi muda, melainkan realita yang tercermin dalam laporan dan data dari lembaga keuangan nasional.
Menurut data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), banyak pengajuan KPR ditolak karena catatan negatif di Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK).Â
Ironisnya, catatan buruk ini kerap bukan berasal dari utang besar seperti mobil atau pinjaman usaha, melainkan dari tunggakan paylater dan cicilan konsumtif lainnya.Â
Fenomena ini memperlihatkan betapa gaya hidup instan dan ketidakdisiplinan dalam keuangan bisa berdampak sangat besar pada masa depan finansial seseorang.
Paylater, yang dulunya dipandang sebagai kemudahan transaksi digital, kini justru menjadi salah satu faktor utama penghambat generasi muda dalam mengakses fasilitas kredit jangka panjang seperti KPR.Â
Banyak Gen Z tergoda dengan kemudahan "beli sekarang, bayar nanti", tanpa menyadari bahwa keterlambatan membayar Rp50.000 sekalipun dapat tercatat dalam riwayat kredit.Â
Bank, yang menggunakan data ini sebagai salah satu tolok ukur kelayakan kredit, akhirnya menolak pengajuan KPR dari calon debitur dengan histori buruk---tak peduli besar kecil nominal utangnya.
Ini seperti gagal masuk perguruan tinggi impian hanya karena pernah bolos sekali. Kecil, tapi berdampak fatal.
Masalah lain yang mendera Gen Z adalah ketimpangan antara pertumbuhan harga properti dan pendapatan.Â