Kompasiana.com -Â Dalam dunia kerja yang kompetitif, seringkali kita terjebak dalam mengejar CV yang "sempurna" dan "menarik" secara visual, dengan daftar panjang prestasi dan pengalaman yang mungkin belum sepenuhnya relevan.Â
Kita berpikir bahwa semakin banyak sertifikat, proyek, atau peran kepanitiaan yang dicantumkan, semakin besar pula peluang untuk dilirik perekrut.Â
Maka muncullah CV berdesain modern, penuh warna, dan sarat informasi---yang ironisnya justru bisa mengaburkan esensi dari siapa kita sebenarnya.
Fenomena ini tidak lepas dari budaya kerja yang mengagungkan produktivitas, pencapaian, dan pencitraan.Â
Banyak pencari kerja merasa terdorong untuk "mengisi" CV mereka sebanyak mungkin, khawatir akan dinilai tidak cukup berprestasi atau tidak menarik.Â
Padahal, rekruter profesional tidak mencari kandidat dengan daftar prestasi terbanyak, melainkan kandidat yang paling relevan dengan kebutuhan mereka.Â
Dalam banyak kasus, CV yang sederhana namun fokus dan jujur justru lebih mudah diingat dan dipertimbangkan.
Masalah lainnya terletak pada godaan untuk menyesuaikan diri dengan apa yang dianggap "ideal" oleh industri, alih-alih menampilkan kekuatan otentik kita.Â
Hal ini bisa mengarah pada distorsi identitas profesional, di mana seseorang lebih sibuk membentuk citra dibanding memahami nilai dan kontribusinya secara nyata.Â
Akibatnya, proses rekrutmen bisa menjadi tidak efektif, baik bagi pelamar maupun perekrut.