Transformasi PT KAI bukan sekadar kisah bisnis yang bangkit dari kerugian, tapi juga kisah rakyat yang kini mudik tanpa derita. Dari lantai gerbong yang jadi tempat tidur, kini rakyat duduk nyaman menatap jendela.
Oleh: Harmoko | Rabu, 14 Mei 2025
Setiap kali Doni melangkah ke Stasiun Pasar Senen, ingatannya kembali ke era 1990-an. Kala itu, mudik ke Solo menjelang Lebaran bukan sekadar perjalanan---melainkan perjuangan. Gerbong ekonomi tempat ia masuk lebih mirip ruang darurat bencana: sesak, pengap, dan bau.
"Saya duduk di depan toilet. Hidung penuh aroma yang tak bisa saya definisikan. Tapi tetap dijalani karena itu satu-satunya jalan pulang," ujar Doni, warga Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Dengan tiket Rp15.000, ia bersama ratusan penumpang lain berimpit dalam gerbong. Tak ada AC. Tak ada jaminan duduk. Tak ada kemanusiaan, tapi penuh harapan.
Mereka datang bukan untuk menikmati perjalanan, melainkan karena ingin pulang. Pulang ke ibu. Pulang ke kampung halaman. Pulang untuk merasakan nasi liwet dan ketupat buatan sendiri.
Skenario Serupa, Nama Berbeda
Pengalaman serupa dialami Sigit Kurniawan dari Manggarai, Jakarta Selatan. Tiap tahun, ia mudik ke Kebumen---kampung halaman sang istri. Ia paham betul bahwa tiket belum tentu jaminan duduk. Maka berdirilah ia di sambungan gerbong sepanjang perjalanan.
"Saat turun, kaki saya bengkak. Tapi semua itu bagian dari perjuangan," katanya, tertawa.
Lebaran baginya adalah ritual, dan kereta ekonomi adalah jalur wajib. Tak peduli berdiri 8 jam atau tak tidur semalaman, asal sampai tujuan dengan selamat.