Mohon tunggu...
Harmen Batubara
Harmen Batubara Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis Buku

Suka diskusi tentang Pertahanan, Senang membaca dan menulis tentang kehidupan, saya memelihara blog wilayah perbatasan.com, wilayahpertahanan.com, bukuper batasan .com, harmenbatubara.com, bisnetreseller.com, affiliatebest tools.com; selama aktif saya banyak menghabiskan usia saya di wialayah perbatasan ; berikut buku-buku saya - Penetapan dan Penegasan Batas Negara; Wilayah Perbatasan Tertinggal&Di Terlantarkan; Jadikan Sebatik Ikon Kota Perbatasan; Mecintai Ujung Negeri Menjaga Kedaulatan Negara ; Strategi Sun Tzu Memanangkan Pilkada; 10 Langkah Efektif Memenangkan Pilkada Dengan Elegan; Papua Kemiskinan Pembiaran & Separatisme; Persiapan Tes Masuk Prajurit TNI; Penyelesaian Perselisihan Batas Daerah; Cara Mudah Dapat Uang Dari Clickbank; Rahasia Sukses Penulis Preneur; 7 Cara menulis Yang Disukai Koran; Ketika Semua Jalan Tertutup; Catatan Blogger Seorang Prajurit Perbatasan-Ketika Tugu Batas Digeser; Membangun Halaman Depan Bangsa; Pertahanan Kedaulatan Di Perbatasan-Tapal Batas-Profil Batas Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Papua Butuh Komitmen, Kesungguhan, dan Ketulusan

27 Februari 2010   01:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:43 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kalau melihat cara Australia mengelola suku Aborigin, pikiran kita akan segera mengatakan keterlaluan, tetapi kalau kita melihat persoalannya secara lebih dalam, memang ga ada cara yang pas untuk itu. Bayangkan kehidupan aborigin yang masih nomaden, yang belum melek dengan berbagai peradaban yang lebih maju. Sementara kehidupan itu sendiri terus berputar, dan itu perlu partisipasi aktip dari semua pihak, padahal untuk partisipasi seperti itu, aborigin tidak bisa berikan. Memang susah untuk mengharapkan bisa maju lebih cepat dari yang mereka bisa. Bagaimana tidak, budaya mereka baru pada tahap budaya barter dengan pola memungut, artinya apa yang ada di alam itulah yang mereka ambil dan itulah yang mereka pertukarkan. Mereka belum mengenal budaya bercocok tanam, memelihara ternak dll.

Hal yang sama juga penulis temukan juga di Papua Nugini, saat berkunjung ke Vanimo, masyarakatnya ya baru pada tahap itu, barter dan mungut hasil alam. Bayangkan untuk memelihara ayam saja mereka belum bisa. Kalaupun ada yang sudah mulai bercocok tanam, hal itu baru disekitar daerah yang dekat dengan perbatasan kita, di sebelah timur desa Wutung, mereka umumnya adalah warga papua asal Timika. Bagaimana kita mengembangkan saudara kita yang masih hidup dalam kultur budaya yang seperti itu? Bagaimana cara untuk mengajak mereka dan bagaimana caranya agar mereka bisa berperan besar dalam proses pembangunan bangsa. Itulah intinya. Secara logika, kita sangat berharap kepada pimpinan lokal, tetapi masalahnya juga ada di sini, dalam kualitas kepemimpinan lokal. Mereka justeru lebih banyak melihatnya, sebagai kesempatan yang sangat pas untuk memperkaya diri sendiri atau golongannya.

Hal seperti itulah yang juga dilihat oleh Edna C Pattisina dan Ichwan Susanto (Kompas, Otsus Belum Berasa,23-25/2/2010) yang melihat bagaimana kontrasnya antara peran yang bisa dilakukan oleh suku papua asli dan warga pendatang. “Bandingkan dengan Benediktila Kocu, warga suku Ayamaru Sorong, yang seminggu tiga hari menjual hasil ladangnya di pasar. Setiap hari berjualan dari pukul 06.00 hingga sore hari, ia bisa mendapatkan uang Rp 150.000-Rp 200.000. Barang-barang yang ia jual berupa setumpuk duku atau seukuran satu tangkup tangan yang dijualnya Rp 10.000 setumpuk, sepuluh kacang panjang yang diikat seharga Rp 3.000 per ikat, serta sirih yang dijual dengan harga Rp 2.000-Rp 10.000 per tumpuk. Pada hari-hari lain, Benekdiktila berladang di kawasan Sowi yang berjarak sekitar 6 km dari Manokwari. Walau sudah lebih dari 30 tahun berladang, baru beberapa tahun terakhir ini Benediktila menjual dagangannya ke pasar”.

Budaya barter dan pola memungut masyarakat asli Papua ini harus berhadapan dengan arus kapitalisme yang terlatih. Warga Papua asli masih gagap dalam logika dagang. Bagi mereka, hasil hari ini adalah untuk hari ini. Kalau dulu tukar-menukar dilakukan langsung, kini ada mata uang sebagai alat tukar antara. Namun, jangan dulu bicara soal persaingan, inventory, perhitungan untung rugi, atau tindakan memupuk modal. ”Mereka tidak biasa dengan persaingan,” kata Julius Lois. Julius Lois menangkap insting ekonomi masyarakat asli Papua belum kuat. Dalam segi bisnis konstruksi yang pada awal tulisan disebutkan tengah meningkat pesat, misalnya, kontraktor-kontraktor besar justru berasal dari luar Papua. Pengalaman Julius, yang juga seorang pengusaha kontraktor, secanggih-canggihnya pengusaha konstruksi Papua hanya bisa melakukan perbaikan saluran. Itu pun dengan pengawasan dan pelatihan yang terus-menerus.

Beberapa usaha pernah dilakukan, seperti pendampingan yang disertai pemberian modal usaha, seperti yang pernah dilakukan Universitas Papua dan Organisasi Buruh Internasional (ILO). Menurut Julius, pernah diadakan proyek pendampingan bagi warga Papua asli yang berjualan es buah atau berdagang pinang. Namun, jumlahnya tentu tidak signifikan dibandingkan dengan jumlah penduduk Papua Barat yang 702.000 orang.Untuk itu, ia melihat perlunya tindakan afirmatif, seperti edukasi yang dilakukan oleh para pengusaha untuk mendidik warga Papua. Banyak potensi yang belum digali, seperti peternakan sapi dan ayam, bahkan bebek yang masih minim peminatnya di Papua Barat.

Masalah mentalitas pada masyarakat dengan pola ekonomi yang pragmatis ini tidak hanya berakibat pada kemampuan kompetisi bisnis yang rendah. Bahkan, dana otsus disambut masyarakat sebagai ikan yang harus dihabiskan, bukan kail untuk dipergunakan mencari ikan lagi dan lagi. Ketua Dewan Adat Papua Manokwari Barnabas Mandacan, saat ditanya soal pelaksanaan otonomi khusus, menekankan pemerataan dan penambahan pembagian dana tunai kepada masyarakat lewat program Rencana Strategis Pengembangan Kampung (Respek). Pada 2009, program ini membagikan Rp 100 juta ke setiap kampung. Masyarakat mengharapkan pembagian ini sampai ke tangan mereka secara tunai.

Walaupun dana itu ujung- ujungnya untuk konsumsi semata, Gubernur Atururi menganggap program itu krusial. ”Kalau tidak, orang-orang Papua bilang, RI tidak pernah berikan dana ke masyarakat kampung,” kata Abraham Atururi di Badan Anggaran DPR. Masalahnya, dana otsus triliunan rupiah ini bukan dana abadi. Lima belas tahun lagi alokasinya akan berkurang dan berkurang terus hingga nol. Kalau sudah tak ada lagi dana otonomi khusus, sementara pembangunan belum berpihak kepada orang asli Papua, selanjutnya ada iming-iming apa lagi?

Memang perlu membangun Papua dengan semangat mengutamakan pribumi ala Mahathir Mohammadnya Malaysia masa lalu, yang memberikan prioritas secara berimbang bagi penduduk pribumi, suku melayu. Memang sebagai akibatnya, banyak fasilitas dan kesempatan yang diberikan kepada warga pribumi secara berlebihan, dan ini sebenarnya juga melahirkan kecemburuan pada etnis lain, seperti etnis china, India dan Tamil. Tapi yang jelas suku Melayu jadi terangkat. Karena itu ada baiknya pola semacam itu diterapkan di Papua, sehingga di sana akan ada kantong-kantong murni pribumi, ada kantong bauran/campuran dan ada kontong yang lebih khusus lagi. Sehingga warga Papua secara perlahan diberikankesempatan, diberikan ketrampilan. Sehingga bilamana kelak mereka sudah siap, maka barulah kompetisisecara terbuka diperkenalkan, dan diharapkan mereka dapat dan mampuberkompetisi secara alami. Jangan seperti di Negara tetangga, yang menempatkan mereka di suatu area, ala “kebun manusia”. Kunjungi Juga http://wilayahperbatasan.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun