Mohon tunggu...
Harmen Batubara
Harmen Batubara Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis Buku

Suka diskusi tentang Pertahanan, Senang membaca dan menulis tentang kehidupan, saya memelihara blog wilayah perbatasan.com, wilayahpertahanan.com, bukuper batasan .com, harmenbatubara.com, bisnetreseller.com, affiliatebest tools.com; selama aktif saya banyak menghabiskan usia saya di wialayah perbatasan ; berikut buku-buku saya - Penetapan dan Penegasan Batas Negara; Wilayah Perbatasan Tertinggal&Di Terlantarkan; Jadikan Sebatik Ikon Kota Perbatasan; Mecintai Ujung Negeri Menjaga Kedaulatan Negara ; Strategi Sun Tzu Memanangkan Pilkada; 10 Langkah Efektif Memenangkan Pilkada Dengan Elegan; Papua Kemiskinan Pembiaran & Separatisme; Persiapan Tes Masuk Prajurit TNI; Penyelesaian Perselisihan Batas Daerah; Cara Mudah Dapat Uang Dari Clickbank; Rahasia Sukses Penulis Preneur; 7 Cara menulis Yang Disukai Koran; Ketika Semua Jalan Tertutup; Catatan Blogger Seorang Prajurit Perbatasan-Ketika Tugu Batas Digeser; Membangun Halaman Depan Bangsa; Pertahanan Kedaulatan Di Perbatasan-Tapal Batas-Profil Batas Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Konflik Komunal dan Pembiaran Aparatus Pemda-Polri dan TNI

18 Desember 2012   11:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:25 794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Disadur dari www.wilayahpertahanan.com

Tahun 2012 Universitas Pertahanan Indonesia, melakukan penelitian pertahanan di Papua dengan judul “Penelitian Manajemen Pertahanan Indonesia di Masa Depan, “menggali mutiara perekat bangsa di perbatasan Timur Papua”. Salah satu yang mengusik saya dari ceceran penelitian itu adalah adanya Semangat Pembiaran dari jajaran Apparatus Pemda-Polri-dan TNI terkait berbagai gejolak sosial yang mengemuka di tengah-tengah kita. Dan itu ternyata tidak hanya di Papua atau Freeport tetapi ada di Mesuji Lampung, Bima, di Sampang Madura, Desa Karang Gayam, dan lain-lain. Intinya adalah tidak sinergisnya kerjasama aparat Pemda-Polri- dan TNI di wilayah itu. Sejatinya mereka tahu persis apa masalahnya, tetapi mereka tidak melakukan apa-apa atau berbuat terlalu sediki dan sudah sangat terlambat.

Pada awal tahun 2012, di harian Kompas 14 Januari 2012 Sayidiman Suryohadiprojo[1] menuliskan Keprajuritan Indonesia dengan kilas balik jati diri TNI mulai dari BKR, dwipungsi sampai dengan era reformasi menurutnya ada yang masih jadi ke galauan di sana. Tulisnya :

Ketika bangsa Indonesia melakukan reformasi, TNI pun melakukannya. Namun, sayangnya, reformasi bangsa Indonesia yang sebenarnya harus menjadikan Pancasila kenyataan di bumi Indonesia, nyatanya dibajak menjadi perubahan yang mengutamakan sikap neoliberalisme dalam berbagai aspek kehidupan bangsa. Reformasi TNI pun belum menjadikan terwujudnya Sapta Marga sebagai kenyataan yang hidup. Bahkan, TNI didesak agar meninggalkan fungsi teritorialnya dan menjadi tentara profesional dalam arti teknik militer belaka.

Jelas sekali adanya usaha untuk melemahkan kehidupan bangsa Indonesia agar pihak lain dapat memanfaatkan berbagai potensi Indonesia yang besar. TNI tidak dibolehkan menjadi kuat dan harus dijauhkan dari rakyat. Tidak perlu heran kalau kemudian terjadi masalah Freeport, Mesuji, dan Bima yang menempatkan TNI berhadapan dengan rakyat.

Semangat Pembiaran Di Tengah Apparatus?

Ketika beliau menuliskan “ kemudian terjadi masalah Freeport, Mesuji, dan Bima yang menempatkan TNI berhadapan dengan rakyat.” Maka dalam bahasa yang berbeda Ferry Santoso Kompas 17 Desember 2012 dengan judul tulisan “Polri, ibarat Pemadam Kebakaran Konflik”  menggambarkan kegalauan yang sama kenapa aparat kepolisian dan aparat territorial TNI kita terlambat ada di sana?

Ribuan orang mengepung dan menyerang sekelompok masyarakat lain. Senjata tajam, lemparan batu, dan pembakaran rumah warga mewarnai setiap aksi main hakim sekelompok warga dalam konflik komunal. Di sisi lain, sebagian warga yang diserang dicekam rasa takut. Gelombang pengungsi pun mengalir dan membeludak. Kepolisian terkesan menjadi tidak berdaya mencegah dan mengatasi konflik komunal.

Sebagai contoh, bentrokan antarwarga itu terjadi di Way Panji, Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Akibatnya, setidaknya sembilan orang tewas dalam peristiwa tersebut. Ribuan warga dari sejumlah daerah di Lampung datang berbondong-bondong ke Kampung Balinuraga, Way Panji. Mereka melengkapi diri dengan senjata tajam. Aksi tersebut sebagai balas dendam atas tewasnya warga Kalianda, pada konflik sebelumnya (Kompas, 30/10).

Tidak hanya di Lampung, di Sampang, Madura, Jawa Timur, konflik komunal juga terjadi. Warga komunitas Syiah di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, dan Desa Bluuran, Kecamatan Karangpenang, Kabupaten Sampang, diserang massa bersenjata tajam. Seorang warga, Hamamah (45), tewas; enam orang terluka, dan 37 rumah dibakar dalam peristiwa itu (Kompas, 27/8).

Konflik komunal, baik berlatar belakang agama, ras, akses terhadap pengelolaan sumber daya, maupun ekonomi, terus jadi tren. Siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab atas terjadinya konflik-konflik komunal yang merenggut nyawa warga, menghancurkan aset warga lain, dan bahkan dapat kehilangan sumber penghidupan atau mata pencarian warga karena harus pindah dari tempat asal?

Penanganan konflik komunal memang tidak sepenuhnya dapat dibebankan kepada aparat kepolisian. Dengan massa yang banyak, aparat kepolisian bisa saja tidak sepenuhnya dapat atau mampu mengatasi karena jumlah personel yang sedikit atau tidak seimbang. Terkait konflik di Kalianda, Lampung, misalnya, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal (Pol) Boy Rafli Amar pernah menjelaskan, kepolisian sebenarnya sudah berupaya menyekat atau membendung massa. Namun, massa merangsek ke lokasi melalui akses jalan lain, seperti pematang-pematang sawah.

Kepolisian sebenarnya bisa mencegah jika peka dan mampu mendeteksi potensi kerawanan konflik komunal. Apalagi konflik komunal sebenarnya tidak terjadi sesaat, tetapi terjadi eskalasi dengan tingkat potensi konflik yang seharusnya dapat dibaca atau dimonitor. Kemampuan membaca tingkat kerawanan atau potensi konflik komunal tentu tergan- tung pada sumber daya manusia kepolisian. Karena itu, jajaran aparat kepolisian di tingkat wilayah seharusnya memiliki peta kerawanan atau peta potensi konflik komunal dan mendeteksi setiap eskalasi konflik.

Hilangnya Sinergitas Pemda-Polri dan TNI

Sebenarnya di aparat TNI maupun kepolisian ataupun Pemda secara rutin mereka melakukan pendataan “kejadian situasional” yang ada di wilayah kerjanya masing-masing. Mereka mencatat setiap kejadian sosial, baik yang bersifat positip maupun negatip di wilayahnya untuk kemudian akan dijadikan bahan belanja masalah dalam rapat-rapat Pemda-Polisi dan TNI terkait secara priodik. Mereka sebenarnya kalau mau saling terbuka, semua persoalannya sudah terbuka di sana.

Ketika masalah Freeport muncul ke permukaan, sebenarnya ketiga jajaran apparatus tadi sudah tahu sumber masalahnya; bahwa Freeport mempunyai dana CSR yang besar tetapi pengelolaannya tidak transparan; bahwa banyak limbah yang jadi sumber masalah tetapi ditutupi; bahwa banyak besi rongsokan atau besi tua yang ada di sana jadi bisnis apparatus tertentu; bahwa kesejahteraan pekerja lokal kurang di appresiasi sudah lama mengemuka. Tetapi anehnya sepertinya dari jajaran apparatus tadi sama sekali tidak ada solusi; yang muncul seolah pembiaran dan kemudian terjadilah kerusuhan.

Masuji juga sebenarnya polanya sama-di sana aparat Pemda-Polri dan TNI sudah ada; mereka sudah tahu bahwa telah terjadi “pengkaplingan lahan” secara paksa tetapi mereka diam saja; bahwa di sana banyak tanah garapan warga yang “dirampas” pengusaha tetapi mereka diam saja, ketiga apparatus itu diam saja; bahwa di perusahaan itu ada Brimob yang di BKO kan dan menjadi penjaga kepentingan “para pengusaha” serta berbuat kasar dengan rakyat sekitar –ketiga jajaran apparatus Pemda-Polri dan TNI itu diam saja-seolah terjadinya pembiaran; maka terjadilah amuk massa yang menyengsarakan rakyat.

Diamnya apparatus pemda serta kepemihakannya yang berseberangan dengan rakyat telah dengan sendirinya memunculkan gambaran adanya pembiaran dan rakyat sama sekali tidak punya pilihan. Untungnya di sana masih ada LSM dan penggiat HAM lainnya yang meski secara sederhana tetapi dapat memberikan semangat bagi rakyat di tengah ketidak berdayaannya. Sejatinya persoalan itu bermula muncul dari hal sederhana, tidak adanya keberpihakan apaparatus Pemda-Polri dan TNI pada rakyat dan sayangnya sepertinya para pimpinan mereka juga seolah tidak berbuat apa-apa. Sebuah pembiaran yang sistematis dan sangat melukai hari rakyat.

[1] Sayidiman Suryohadiprojo Mantan Gubernur Lemhannas

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun