Mohon tunggu...
Hari Wiryawan
Hari Wiryawan Mohon Tunggu... Dosen - Peminat masalah politik, sejarah, hukum, dan media, dosen Usahid Solo.

Penulis lepas masalah politik, sejarah, hukum, dan media, dosen Usahid Solo

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mangkunagoro VII dan Siaran Langsung Sholat Jumat

26 Maret 2021   15:57 Diperbarui: 26 Maret 2021   16:04 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masjid Agung, Keraton Kasunanan (atas) Masjid Al Wusto, Pura Mangkunagaran(bawah).  Dokpri
Masjid Agung, Keraton Kasunanan (atas) Masjid Al Wusto, Pura Mangkunagaran(bawah).  Dokpri
Kota Surakarta (Solo) pada dasawarsa 1930-an memiliki dua istana yaitu Keraton Kasunanan dengan rajanya Paku Buwono X  dan Pura Mangkunegaran dengan "raja" nya Mangkunagoro VII. Kota ini juga memiliki dua masjid utama yaitu Masjid Agung di Keraton Kasunanan dan Masjid al Wustho di Pura Mangkunegaran. Di kota ini juga terdapat dua stasiun radio yaitu Solosche Radio Vereeniging (SRV) berdiri 1933, milik Pura Mangkunegaran dan Siaran Radio Indonesia (SRI) berdiri 1934, milik Keraton Kasunanan.

Pura Mangkunegaran memiliki Masjid al Wustho dan Stasiun Radio SRV sedangkan Keraton Kasunanan memiliki Masjid Agung dan Stasiun Radio SRI. Masjid Agung di Keraton Kasunanan jauh lebih besar dan lebih megah dari pada masjid Al Wustho' di Mangkunegaran. Namun stasiun radio SRV di Mangkunegaran lebih modern lebih luas jangkauan siarannya daripada SRI. 

Dengan demikian pada saat itu, Kota Solo memiliki dua kerajaan, dua raja, dua masjid besar dan dua stasiun radio. 

 Baik SRV maupun SRI memiliki dua kesamaan program acara yaitu Siaran Langsung Sholat Jumat. Pertanyaanya adalah: dari masjid manakah SRI dan SRV melakukan siaran langsung sholat Jumat? Kemungkinan besar anda akan menjawab bahwa SRV akan melakukan  siaran langsung sholat Jumat dari Masjid Al Wustho dan SRI akan menyiarkan siaran langsung dari Masjid Agung. 

Namun ternyata jawaban itu hanya setengah benar, tapi tidak sepenuhnya salah. Yang benar adalah bahwa SRI menyiarkan siaran langsung sholat Jumat dari Masjid Agung Keraton Kasunanan dengan nama acara "Samboengan dengan Mesdjid Besar". Ini kebijakan yang wajar karena baik SRI maupun Masjid Agung berada dilingkungan Keraton Kasunanan. Namun ternyata SRV tidak melakukan siaran langsung sholat Jumat dari masjid Al Wustho. Anehnya, SRV juga tidak melakukan siaran langsung dari Masjid Agung Kasunanan Surakarta, 

Lalu darimana siaran langsung sholat Jumat yang dikumandangkan SRV? Ternyata SRV melangsungkan siaran langsung Sholat Jumat dengan cara merelay siaran sholat Jumat dari siaran SRI, dengan nama acara: "Sembahjang di Masdjid besar Soerakarta (relay S.R.I)"

 Mangkunagoro VII sebagai pimpinan di Pura Mangkunegaran, sebagai penggagas berdirinya SRV bagaimana pun menyadari bahwa dirinya memiliki kedudukan di bawah Raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Paku Buwono X yang memiliki gelar "....Senopati Ing Alogo Abdurrahman Sayidin Panotogomo" (...Panglima di Medan Perang dan Penata Agama), sedangkan Mangkunagoro VII tidak memiliki gelar itu. Sehingga, dalam urusan agama Pakubuwono dan seluruh perangkat kerajaan Kasunanan Surakarta-lah yang memiliki otoritas dalam bidang agama Islam. 

Bila SRV melakukan siaran langsung sholat Jumat melalui masjidnya sendiri di lingkungan Mangkunegaran, maka hal itu bisa dianggap melampaui kewenangan Mangkunagoro VII. Jika itu dilakukan akan menimbulkan persaingan antara SRV dan SRI dalam memperebutkan pengaruh di masyarakat dalam hal otoritas agama. Bisa pula menimbulkan persaingan dalam memperebutkan otoritas agama antara dua masjid besar itu. Bahkan, lebih jauh bisa berpotensi menjadi persaingan antara dua raja dalam memperebutkan pengaruh kepada umat Islam. Ini adalah sesuatu yang kontraproduktif bagi dua kerajaan itu. Baik Mangkunagoro VII dan Paku Buwono X dikenal memiliki visi yang kooperatif bukan destruktif. 

Mangkunagaro VII dalam hal ini lebih mengutamakan kewajiban untuk menjaga keharmonisan dalam kehidupan beragama di tanah Jawa. Jika Mangkunagoro VII hanya ingin memenuhi hak nya saja sebagai pemilik stasiun radio, maka bisa saja SRV menyiarkan sendiri siaran sholat Jumat dari masjid al Wustho. Atau SRV merelay langsung Sholat Jumat dari Masjid Agung, karena SRV memiliki peralatan sendiri. Namun itu tidak dilakukan, meski SRV memiliki kemampuan teknis dan peralatan yang lebih canggih daripada SRI. Inilah etika dalam menyiarkan agama yang dipegang teguh oleh SRV pada masa Mangkunagoro VII

Konteks pengaruh dan dampak radio, sudah pasti tidak bisa dibandingkan dengan zaman now dimana saat ini radio sudah banyak ditinggalkan orang. Konteks yang harus kita pahami adalah pada zaman old itu radio adalah satu-satunya teknologi komunikasi massa yang paling berpengaruh. Pengaruh media penyiaran radio jauh melampaui pengaruh surat kabar, karena radio hanya memerlukan telinga tidak perlu keterampilan membaca dimana pada saat itu masyarakat masih banyak yang buta huruf. Radio adalah "media sosial" di zaman old itu. Karena itu, kesalahan dalam menerapkan kebijakan siaran akan berakibat fatal bagi masyarakat. Ketegangan antara dua kerajaan itu akan menimbulkan keresahan di masyarakat, apalagi ini menyangkut isu agama yang sensitif. (Sekadar catatan, perang antara Keraton Kasunanan melawan RM Said (kelak Mangkunagoro I) pernah terjadi selama 16 tahun di abad ke 18).  

Mangkunagoro VII telah memberi contoh bahwa siaran agama (dalam hal ini sholat Jumat) tidak digunakan untuk sekedar mencari tambahan jumlah pendengar (bukan untuk meningkatkan rating). Siaran agama juga tidak digunakan untuk sekedar mencari tambahan dukungan publik (pencitraan). Meskipun kesempatan dan fasilitas tersedia sepenuhnya. Siaran agama bertujuan untuk melayani kebutuhan masyarakat akan acara yang religius. Untuk memberikan warna bahwa siaran radio tidak hanya hiburan semata, siaran radio juga harus memberikan edukasi, siraman rohani. 

Kita patut bersyukur dimana bangsa Indonesia yang masih sangat muda mengenal dunia media penyiaran radio waktu itu (1930-an) telah memiliki kematangan dalam mengelola isi siaran dalam kaitanya dengan agama dan lingkungan sosial politik dan budaya.

 Bila kita tengok sebentar ke negara demokrasi terbesar yaitu Amerika Serikat, menunjukkan bahwa lembaga penyiaran radio menghadapi kegugupan dalam mengelola siaran agama. Pada tahun 1920-an di AS terjadi lonjakan animo masyarakat dalam dunia penyiaran radio. Di berbagai kota tumbuh dan berkembang berbagai stasiun radio. Salah satu acara favorite di akhir pekan adalah siaran Kebaktian Gereja dari berbagai lokasi di sana. Stasiun radio berlomba-lomba untuk menyiarkan siaran langsung kebaktian gereja itu. Di banyak gereja bahkan terdapat lebih dari satu stasiun radio yang menyiarkan siaran kebaktian. Karena stasiun radio tersebut bersaing satu sama lainya maka mereka berlomba-lomba menyiarkan acara kebaktian, berlomba-lomba mencari pendengar, sehingga mereka saling berlomba mengeraskan volume siaran dan power pemancar masing-masing untuk acara kebaktian gereja tadi. (Gamble & Gamble, 1989). 

 Kondisi ini tentu akan merugikan pendengar dan gereja itu sendiri karena gereja hanya dimanfaatkan untuk mencari pendengar dan publik hanya sekedar objek untuk meraih jumlah pendengar yang tinggi dengan menggunakan agama sebagai komoditas. Dari sisi ini lembaga penyiaran radio di Indonesia, dengan melihat kasus SRV dan SRI, relatif lebih matang dalam mengatur siaran dari rumah ibadah dari pada lembaga penyiaran di Amerika serikat pada awal perkembangan radio di abad lampau.  

Tradisi siaran langsung Sholat Jumat di lembaga penyiaran radio yang dimulai sejak masa Mangkunagro VII itu, masih dipertahankan dan diteruskan oleh Radio Republik Indonesia (RRI) di seluruh cabangnya di pelosok Nusantara hingga hari ini. Siaran langsung itu dimulai dari tiga stasiun RRI paling Timur yaitu Jayapura, Boven Digul dan Merauke. Khutbah dan adzan sholat Jumat terus berkumandang bergerak ke Barat, ke Wamena, Nabire, Manokwari dan seterusnya ke wilayah di sebelah Barat di Maluku, Sulawesi/Nusa Tenggara, Kalimantan/Jawa dan Sumatera yang berakhir di dua stasiun RRI paling Barat yaitu Banda Aceh dan Sabang. 

Siaran langsung Sholat Jumat itu berkumandang di udara Nusantara melalui lebih dari 70 stasiun RRI, kurang lebih 3,5 jam (mulai pukul 10.00 WIB hingga pukul 13.30 WIB). Inilah negeri dengan stasiun radio paling banyak dan paling lama dalam siaran langsung Sholat Jumat. Tak ada negeri yang mampu melakukan siaran langsung Sholat Jumat begitu lama dan begitu banyak melibatkan stasiun radio selain negeri Pancasila ini.  

Inilah salah satu sumbangan dunia penyiaran bagi kehidupan beragama di Indonesia, bahwa penyiaran bukan sekadar hiburan semata tapi juga memiliki aspek edukatif dalam bentuk siaran agama. Ketua SRV Sarsito Mangunkusumo (1939) pernah mengatakan:Semoga mereka yang memberi pimpinan dalam siaran radio ketimuran di tanah ini menyadari, bahwa siaran radio di sini memikul kewajiban budaya yang luhur, dan semoga ingat, bahwa ini semua berkat pandangan jauh ke masa depan dan dorongan yang kuat dari Sri Paduka KGPAA Mangkunagoro VII.  

Dirgahayu penyiaran Indonesia. Selamat Hari Penyiaran Nasional ke 88, 1 April 2021.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun