Mohon tunggu...
Hari Wiryawan
Hari Wiryawan Mohon Tunggu... Dosen - Peminat masalah politik, sejarah, hukum, dan media, dosen Usahid Solo.

Penulis lepas masalah politik, sejarah, hukum, dan media, dosen Usahid Solo

Selanjutnya

Tutup

Politik

Partai Demokrat Mencari Jenderal

8 Maret 2021   01:04 Diperbarui: 8 Maret 2021   01:19 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kubu Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat (PD) telah menetapkan Moeldoko sebagai Ketua Umum. Sementara kubu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) meminta Pemerintah Jokowi untuk turun tangan. 

Kedua belah pihak baik kubu KLB maupun kubu AHY merasa perlu mencari bantuan dari luar partai untuk mengatasi masalah internal. Kubu KLB meminta bantuan kepada Kepala Staf Presiden KSP) Moeldoko untuk mengatasi dominasi keluarga Yudhoyono dalam tubuh PD. Kubu KLB menyadari bahwa mereka tidak mampu melawan keluarga Yudhoyono yang telah menguasai partai sedemikian kuat. Kubu KLB merasa apa yang dilakukan oleh keluarga Yudhoyono adalah tindakan yang salah dengan menjadikan PD sebagai partai keluarga. 

Sampai disini terlihat bahwa kubu KLB adalah kelompok yang tidak independen dalam menghadapi konflik internal, terbukti kelompok KLB mengundang pihak luar dalam hal ini adalah KSP Moeldoko. Namun dilain pihak kubu AHY juga minta tolong agar pemerintah Jokowi melakukan intervensi untuk mencegah adanya KLB. Saat ini KLB telah terjadi, Kubu AHY masih terus minta agar Pemerintah turun tangan untuk tidak mengesahkan hasil KLB dan memberi sanksi kepada Moeldoko.  

Inilah wajah PD saat ini yang centang perentang. Konflik yang terjadi di tubuh PD saat ini sebenarnya juga pernah terjadi di tubuh Golkar, PPP, PAN dsb. Namun liputan media massa memberi perhatian kepada PD karena ada sosok SBY, AHY dan Moeldoko yang sangat seksi untuk diliput. 

SBY yang terkenal suka curhat di depan wartawan sangatlah menarik untuk diliput. Keanggunannya berbicara dengan sopan dan santun sangatlah menarik untuk disiarkan ditelevisi, apakah publik percaya atau tidak dengan sopan santunnya? Itu masalah lain. Seruanya tentang moralitas berpolitik, etika bernegara, dan nilai-nilai mulia setinggi langit tetap menarik sebagai tontonan. Ya sekadar tontonan belaka. Siapa SBY yang sebenarnya makin bisa dipahami dari kisah para mantan orang terdekatnya yang sekarang berkumpul di kubu KLB. Melihat AHY yang tampan dan atletis ibarat melihat anak gadis kecil yang belum baliq sedang belajar bagaimana memakai gincu.  

Sedangkan Moeldoko adalah sosok yang 180 derajat berbeda dengan SBY. Ia tidak bisa berbasa basi seperti SBY. Moeldoko juga tidak biasa curhat, juga tidak akan berbicara soal nilai-nilai dalam politik. Moeldoko adalah tentara tulen pikiranya hanya ada dua: memberi komando kepada prajurit atau melaksanakan perintah atasan. Melihat sosok Moeldoko saya teringat LB Moerdani, jenderal yang dingin dan segani lawan maupun kawan. 

Baik SBY dan Moeldoko. Keduanya memiliki kesamaan, yaitu seorang militer yang berpangkat Jenderal, bersuku Jawa dan beragama Islam. Tiga unsur inilah (Jenderal Jawa Islam) tampaknya yang menjadi idola dikalangan PD khusunya kubu KLB. Salahkah PD dulu memilih figur SBY lalu sekarang memilih Moeldoko? Ini bukan soal salah dan benar, namun inilah yang menjadi akar dari permasalahan pokok di tubuh PD yaitu: independensi. Para politisi sipil di PD tidak memiliki jiwa kemandirian. 

PD didirikan oleh sejumlah aktivis yang sebagian besar adalah orang-orang sipil yang memiliki idealisme tentang sebuah partai politik yang demokratis. Namun sayangnya mereka tidak memiliki kepercayaan diri karena merasa bukan seorang tokoh --politisi PD (Partai Demokrat) tapi tidak PD (percaya diri)-- maka salah satu cara untuk membesarkan partai ini agar cepat besar maka mencari tokoh luar untuk dicangkokkan kedalam partai. Tokoh itu kebetulan bernama SBY. Maka terjadilah perkawinan cangkok antara partai kecil yang baru ditanam dan tokoh besar bernama SBY. Dan perkawinan itu terbukti mujarab dan menjadikan PD bak tanaman hibrida yang lekas tumbuh besar dan menjadikan PD partai terbesar di Indonesia dengan sangat cepat dan SBY menjadi orang nomor satu di negeri ini. Mengapa PD bisa tumbuh besar dengan cepat rumusnya adalah PD kawin dengan Jenderal Jawa Islam (JJI). Rumus ini terpenuhi pada diri SBY. 

Tapi kini cangkok bernama SBY tidak bisa digunakan untuk menaikan harkat dan martabat partai. SBY telah uzur bukan dalam arti usia namun dalam arti fungsi politiknya. SBY tidak bisa lagi digunakan untuk mendongkrkak partai. Maka dipilihlah AHY. Mas AHY memiliki unsur Jawa, dan Islam namun tidak memiliki kriteria "jenderal". Meskipun AHY seorang tentara, namun ia hanya mayor, masih lima jenjang lagi untuk mencapai posisi jenderal. Jika tiap jenjang dari mayor ke jendral (letkol, kolonel, brigjen, mayjen, letjen dan jenderal) dibutuhkan waktu rata-rata satu tahun maka AHY masih perlu waktu untuk 'sekolah'  di dunia militer 6 tahun lagi. Itu pun kalau tidak ada kendala politik. Seorang berpangkat mayor biasanya memegang jabatan sebagai Komandan Komando Rayon Militer (Koramil) setingkat Kecamatan di Jawa. Inilah sebenarnya 'keresahan" kalangan kubu KLB. 

Kubu KLB meyakini bahwa Jenderal Jawa Islam adalah terobosan untuk membesarkan PD dengan sangat cepat dan rumus ini terbukuti mujarab pada diri SBY pada Pemilu 2004 dan 2009. Sementara kubu AHY yang didominasi generasi muda seorang pemimpi yang penting adalah keren dan memiliki elektablitas. Salah satu daya tarik SBY ketika berkampanye baik tahun 2004 maupun tahun 2009 adalah penampilanya yang keren nan mempesona dan tutur kata yang menawan. Dan semua itu ada pada diri AHY. Jadi tidak harus menjadi jenderal untuk memimpin PD, toh AHY putra seorang jenderal, meski ia bukan jenderal, begitu kira-kira kubu AHY berpendapat. Jadi tetap saja faktor JJI menjadi unsur yang penting bagi para politisi PD. Oleh karena itu, putra mantan Ketua PD Subur Budisantoso, Hadi Utomo maupun Anas Urabiningrum tidak masuk dalam radar para politisi PD saat ini karena ayahanda mereka tidak memiliki kriteria sebagai J-J-I.  

Jadi menurut saya, bukan soal 'dinasti politik', juga bukan soal 'SBY ingkar janji' yang menjadi alasan kubu KLB protes. Yang meresahkan kubu KLB adalah tidak merasa yakin bahwa seorang yang berpangkat Mayor bisa jadi Presiden sebagaimana bapaknya, SBY. (Meskipun sebenarnya SBY juga hanya seorang letnan jenderal, bukan jenderal penuh waktu mencalonkan sebagai Presiden). Kubu KLB cuma ingin satu hal yaitu seorang jenderal, bukan seorang mayor. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun