Mohon tunggu...
Hari Wiryawan
Hari Wiryawan Mohon Tunggu... Dosen - Peminat masalah politik, sejarah, hukum, dan media, dosen Usahid Solo.

Penulis lepas masalah politik, sejarah, hukum, dan media, dosen Usahid Solo

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ketika Jokowi Menata Para Panglima Perang

24 Desember 2020   16:16 Diperbarui: 24 Desember 2020   16:22 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Tribunnews.com

Ketika Jokowi Menata "Panglima Perang" Baru

Apa yang sebenarnya ingin dicapai oleh Presiden Joko Widodo dengan reshufle kabinet?  Secara praktis tentu hal ini untuk mengisi dua kursi menteri yang kosong karena sang menteri ditangkap KPK. Namun dilihat dari penataan menteri baru, tampaknya persiapanya sudah agak lama, bukan karena kasus di KPK semata.  Hilangnya dua menteri Kabinet Indonesia Maju malah menjadi momentum untuk menata ulang para panglima perang. Mengapa panglima perang?  Perang apa yang dihadapi Jokowi dan siapa para panglima itu?

Ada dua perang yang sedang dihadapi Jokowi untuk menyelamatkan Indonesia yaitu perang melawan radikalisme/intoleransi dan perang melawan Covid 19.

Perang melawan kaum radikal telah dimulai dengan pembubaran HTI dari bumi Indonesia. Meski organisasinya sudah bubar aktivis HTI masih terus bekerja. Pusat kaum intoleran dan radikal makin berkembang di luar HTI yaitu FPI. Di tangkapnya Rizieq Shihab secara kebetulan merupakan bentuk dua peperangan yang sedang dihadapi Jokowi yaitu perang melawan kaum intoleran dan perang melawan Covid 19.

Dalam perang melawan kaum radikal/intoleran, setelah HTI dibubarkan mestinya Jokowi membubarkan FPI. Namun mengapa FPI tidak kunjung dibubarkan? Salah satu sebab adalah sikap Menteri Agama Fachrul Razi yang tidak kunjung memberikan lampu hijau untuk membubarkan FPI. Menag tidak memberikan rekomendasi untuk pembubaran FPI, dengan alasan bahwa "FPI masih bisa dibina". Kebijakan menteri agama ini tentu menyulitkan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian untuk mencabut izin FPI. Jika Menteri Dalam Negeri membubarkan FPI, maka akan menimbulkan kesan perpecahan dalam cabinet dan secara hukum administrasi lemah, karena menteri yang satu membubarkan sementara menteri yang lain tidak memberi rekomendasi pembubaran. Sehingga,  posisi FPI diambangkan hingga sekarang.  

Kini menteri agama diganti oleh Yaqut Cholil Qoumas, Ketua Banser NU, tokoh dari organisasi yang dikenal amat berseberangan dengan kalangan radikal termasuk FPI. Di bawah Gus Yaqut diperkirakan akan terbit rekomendasi untuk pencabutan izin FPI. Dengan demikian Menteri Dalam Negeri akan mudah untuk mencabut izin FPI. Betenggernya Yaqut Cholil di kursi Menag juga akan merupakan panglima Jokowi dalam berhadapan dengan kaum radikal.

Penunjukan Yaqut Cholil Qoumas juga mengobati sidikit lecet yang kemarin sempat mengenai kalangan Nahdhiyin karena menteri agama tidak diserahkan ke NU. Kini luka  itu sudah terobati. Yaqut yang anak muda NU itu tentu membawa pengaruh yang kuat dikalangan NU untuk tetap mendukung Jokowi.

Apakah dengan pembubaran FPI, masalah akan selesai? Tentu tidak. Masih ada satu sarang lain yang diduga dihuni oleh kaum radikal dan intoleran yaitu di sekitar Gubernur DKI Jaya, Anies Baswedan. Untuk menertibkan itu, Jokowi telah menyiapkan Panglima: Tri Rismaharini sebagai bakal calon Gubernur DKI kelak. Berangkatnya Risma ke Jakarta sebagai Menteri Sosial seakan pemanasan untuk mengenal wilayah medan pertempuran Pilkada tahun 2022.

Tapi Risma sebagai Menteri Sosial bukan sekadar basa basi. Jokowi memerlukan Mensos yang handal untuk memastikan bantuan sosial yang digelontorkan bisa sampai ke rakyat bawah di masa Pandemi ini. Bila bantuan itu dikorupsi dan tidak sampai ke rakyat yang butuh bantuan, maka akan merupakan bibit keresahan sosial.

Juliari Batubara yang kini ditahan oleh KPK adalah kader PDIP, kini penggantinya juga dari PDIP. Hubungan Jokowi dengan kubu Banteng akan tetap terjaga bahkan bisa makin menguat karena prospek Risma menuju ke DKI-1 makin kuat. Bila Menag menguatkan pijakan Jokowi di NU, Mensos menunjukakan bahwa pijakan Jokowi di PDIP tetap stabil.   

Salah satu idola warga Jakarta, terutama kaum ibu adalah tokoh yang ganteng mantan Wakil Gubernur Jakarta, Sandiaga Uno. Apakah Sandiaga Uno bersedia untuk membantu Risma merebut Kursi Gubernur yang berarti Sandiaga akan melawan Anies, rekanya dulu? Belum tentu. Namun yang jelas yang idola itu telah ditempatkan di kursi yang empuk dan menyenangkan, sehingga pijakan Anies tidak sekokoh dulu.

Perang kedua yang sedang dihadapi oleh Jokowi adalah perang melawan Covid 19. Perang ini juga merupakan perang yang dilakukan oleh dunia. Namun sayang Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto tidak mampu tampil kedepan dalam peperangan ini. Terawan adalah seorang dokter yang baik dan inovatif dan juga seorang kepala rumah sakit (RSPAD) yang baik, namun mungkin tidak enjoy sebagai pejabat publik untuk lingkup nasional.

Menteri Kesehatan yang baru, Budi Gunadi Sadikin diharapkan mampu menjadi panglima perang melawan Covid 19. Reputasinya dalam bidang manajemen akan dipertaruhkan. Sebuah perang memerlukan strategi dan taktik. Budi kabarnya ahli di bidang ini. Ia bukan seorang dokter.

Jika memang Menteri Kesehatan tidak harus seorang dokter, mengapa bukan Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid 19 Letjen Doni Mordano? Mungkin sang jenderal yang ganteng ini juga kurang memuaskan kinerjanya di mata Jokowi. Ketika di Petamburan ada hajatan yang ramai, Doni malah menyumbang masker. Doni sudah membatah atas kritik itu.

Yang menarik adalah bahwa perang melawan radikalisme dan Covid 19 di era Jokowi justru terkendala oleh para pembantunya yang kebetulan berlatar belakang militer. Harapan Jokowi dalam peperangan ini kaum militer bisa tampil ke depan. Menteri Agama Fachrul Razi adalah mantan Wakil Panglima TNI sedangkan Terawan Agus Putranto seorang yang berpangkat Brigadir Jenderal. Dalam situasi perang seperti saat ini (meskipun peperanganya tidak menggunakan senjata) semestinya prajurit TNI sebagai putra bangsa yang terbaik bisa tampil kedepan.

Sayang tiga jenderal itu tak bisa berlari bersama Jokowi. Tapi Jokowi beruntung memiliki tangan kanan yang hebat: Jenderal Luhut Panjaitan. Di tangan Luhut hampir semua tugas yang dibebankan kepadanya bisa dilakukan dengan baik; seperti dalam hubungan dengan Cina, Amerika Serikat dan Emirat Arab, pemindahan Ibukota ke Kalimantan, termasuk menjadi koordinator penaggulangan Covid 19 di sembilan propinsi, Jenderal Luhut mampu mengerjakan dengan baik. Mungkin kapasitan seperti Luhut-lah yang diharapkan dari seorang jenderal.

Tapi keberuntungan Jokowi yang akan dicatat sejarah dalam perang melawan dua front sekaligus yaitu radikalisme dan Covid 19 adalah tampilnya seorang "Maung Bandung" Pangdam Jaya Letjen Dudung Abdurahman. Tampilnya prajurit dari bumi Siliwangi itu merupakan titik balik langkah2 Jokowi menuju kemenangan NKRI. (wir)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun