Mohon tunggu...
Hari Wiryawan
Hari Wiryawan Mohon Tunggu... Dosen - Peminat masalah politik, sejarah, hukum, dan media, dosen Usahid Solo.

Penulis lepas masalah politik, sejarah, hukum, dan media, dosen Usahid Solo

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Penuturan Sejarah dan Isu PKI di Barak Militer Magelang Tahun 70-an

27 September 2020   00:44 Diperbarui: 29 September 2020   18:53 3112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak tentara di Komplek Militer, Ngentak, Magelang awal 1970-an (koleksi pribadi)

Para pahlawan pada umumnya digambarkan sebagai orang yang sempurna mengabdi kepada bangsa dengan penuh pengorbanan dan penderitaan. Pangeran Diponegoro menderita karena ditangkap setelah ditipu Belanda, Pak Dirman menderita sakit paru-paru ketika melawan Belanda, Pahlawan Revolusi menderita karena dibunuh PKI.

Namun ada satu pahlawan yang bagi kami membanggakan dan kami senang jika mendengar ceritera itu. Kisah pahlawan ini adalah kisah kemenangan bukan penderitaan dan kekalahan, pahlawan itu adalah Kolonel Sarwo Edhi Wibowo (kelak mertua Presiden SBY). Kehebatannya, kegagahanya selalu membuat kami senang.

Ada pahlawan yang bisa menang, karena para pahlawan yang dulu selalu kalah dan menderita. Salah satu teman saya kebetulan bernama Sarwo Edhi Wibowo, jika Bu Titik menceriterakan soal kehebatan Sarwo Edhi dia sengaja dekat ke bangku teman saya itu.

Dan teman saya, Edi (demikian kami memanggil), tersipu-sipu karena namanya selalu disebut-sebut. Kami pun tertawa di kelas melihat rekan salah tingkah.

Sejauh ingatan saya, para guru dan orangtua kami tidak pernah menceriterakan atau menggambarkan orang yang bernama Soeharto yang kebetulan juga seorang jenderal dan menjadi Presiden pada saat itu. Bahwa Soeharto adalah presiden kami mengetahui dari foto di kelas, tapi tentang kisah kepahlawananya tidak pernah menjadi topik di sekolah atau di rumah.

Bahkan jika TVRI menyiarkan siaran pidato Presiden, orang-orang dewasa malah saling menyindir tapi tidak pernah berani menyebut nama secara langsung.

"Pidato kok moco (Pidato kok baca)", "durung pantes dadi presiden (belum pantas jadi presiden)", "bedo karo sing ndisik (beda dengan yang dulu, maksudnya Bung Karno)" dan sebagainya. Selalu saja ada yang menggunjing soal pidato yang membosankan dari Soeharto.

Mengapa mereka tidak suka pada sosok Soeharto? Saya menduga para perwira militer (perwira pertama dan perwira menengah) yang tinggal di Kompleks Militer Ngentak adalah orang yang sebenarnya pro-Bung Karno.

Mereka masih mencintai Bung Karno, namun karena perubahan politik mereka menyembunyikan sikap politiknya. Di kamar tamu mereka di kompleks militer itu sudah pasti tidak ada foto Bung Karno. Namun di dalam kamar tidur atau bahkan gudang, foto Bung Karno masih ada. Saya terbiasa keluar masuk rumah tetangga ketika mengerjakan PR bersama atau waktu main petak umpet.

Di rumah saya -kebetulan orang tua saya punya pesawat televisi 17 inch merek Sharp-  tempat berkumpul ibu-ibu dimalam hari yang mau menonton film serial di TVRI. Suatu malam  salah seorang ibu berceritera bahwa dirinya baru saja mudik ke Jawa Timur dia sekeluarga menyempatkan diri untuk berziarah ke makam Bung Karno.

Dengan nada emosional ibu itu berceritera bahwa dirinya tidak rela. "Beliau itu Proklamator lho, masak makamnya hanya gundukan tanah. Bung Karno itu yang membuat kita merdeka," kata sang Ibu yang tinggal di depan rumah kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun