Mohon tunggu...
Hari Wiryawan
Hari Wiryawan Mohon Tunggu... Dosen - Peminat masalah politik, sejarah, hukum, dan media, dosen Usahid Solo.

Penulis lepas masalah politik, sejarah, hukum, dan media, dosen Usahid Solo

Selanjutnya

Tutup

Film

Menonton Film "Jejak Khilafah di Nusantara" (1): Memfilmkan Kebingungan Khilafah

1 September 2020   18:29 Diperbarui: 2 September 2020   08:11 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika menonton film "Jejak Khilafah di Nusantara", saya berharap akan adanya suatu temuan baru yang bisa dijadikan referensi untuk memperkaya sejarah di Nusantara. Siapapun berhak mencari jejak sejarah. Namun dari menit pertama hingga menit terakhir, narasi yang di sampaikan hanya mengulang-ulang dari cerita yang sudah sering di sampaikan oleh kalangan pro-khilafah. 

Film ini tidak memberikan sesuatu yang baru. Mungkin saja tetap ada yang memuji (ini bisa dilihat dari komen khalayak di Youtube). Tapi dari komen yang terlihat mereka bukan orang yang memang memahami secara sadar tentang arti sejarah khilafah yang dimaksud melainkan sekadar penggebira belaka. Tampaknya kalangan inilah yang ingin diraih oleh film ini untuk menjaga semangat mereka.

Salah satu sebab mengapa film Jejak Khilafah ini gagal adalah penulis skenario (script) yang tidak cakap dan tidak profesional. Penulis script tidak tahu apa tujuan membuat film Jejak Khilafah. Ia tidak paham apa yang hendak disampaikan kepada khalayak tentang film itu. 

Kebingungan ini memang sebuah konsekuensi logis karena tidak bertemunya antara cita-cita dan fakta, antara harapan dan kenyataan. Semangatnya adalah membuktikan adanya Khilafah Islamiyah di Indonesia kenyataanya kosong.

Semangat dan cita-citanya adalah untuk mendirikan Khilafah Islamiyah di Indonesia dengan mengganti Pancasila yang dianggap sebagai ideologi buatan manusia yang penuh dosa. 

Pancasila harus diganti dengan ideologi Islam dengan sistem pemerintahan Khilafah Islamiyah yang sempurna dan agung karena  dibuat oleh Tuhan, kira kira begituah apa yang ada dalam benak kalangan pro-khilafah.

Nah untuk meyakinkan penduduk seluruh Indonesia raya bahwa Pancasila harus diganti dengan Khilafah Islamiyah, maka dibuatlah berbagai propaganda (Tentu kalangan HTI tidak menggunakan istilah "propaganda" karena terkesan sekuler, tapi menggunakan istilah Arab  yaitu 'syi'ar' agar terkesan Islami). 

Syi'ar (baca propaganda) ini penting untuk memberikan pembenaran bahwa khilafah itu adalah legitimet. Salah satu legitimasi tentang khilafah adalah dengan mencari pembenaran sejarah. Film ini adalah bagian dari propaganda kalangan pro-khilafah untuk mencari pembenaran bahwa "khilafah itu di Indonesia sudah ada sejak zaman dulu lho", "khilafah itu bagian dari sejarah Indonesia lho", kira-kira itu yang ingin disampaikan. 

Propaganda ini telah dilakukan sejak beberapa tahun yang lalu, dengan berbagai jurus misalnya menggambarkan bahwa "Walisongo adalah utusan Turki Usmani", "Aceh dan Jawa adalah bagian dari Turki Usmani", "Diponegoro punya hubungan dengan Turki dsb." Namun karena fakta dilapangan dari jejak khilafah yang minim maka narasi yang dibuat sangat kentara memaksakan diri. Tidak peduli apakah memang ada hubungan atau tidak dalam sejarah. Sebab ini bukan soal benar atau salah ini adalah propaganda bahwa rakyat Indonesia harus menerima informasi dan diyakinkan adanya khilafah di Indonesia.  

Film Jejak Khilafah tampaknya, mendapat amanat dari para aktifis eks-HTI untuk merangkum seluruh propaganda HTI dari aspek sejarah. Karena tidak ada fakta sejarah maka, apa boleh buat layar terlanjur dibentangkan pantang surut kebelakang. Maka 'othak-athik gathuk' pun dilakukan. Oleh karena itu saya sependapat dengan Prof Peter Carey dari Inggris bahwa film ini adalah murni propaganda, yang tidak ada hubunganya dengan ilmu pengetahun sejarah. Karena itu juga tidak ada hubunganya dengan sejarah agama Islam.  Karena film propaganda maka tidak ada bedanya dengan propaganda yang dilakukan oleh, misalnya, Amerika Serikat yang berusaha mempengaruhi penduduk Uni Soviet agar menolak komunisme dan menyeberang ke Barat, atau sama juga dengan apa yang dilakukan oleh Partai Komunis China dalam mempengarui rakyatnya agar tetap mau memeluk komunisme. 

Jika Amerika Serikat mempropagandakan liberalisme, demokrasi, Partai Komunisme Tiongkok mempropagandakan komunisme, maka HTI mempropagandakan khilafah. Jadi jenis manusianya sama, yaitu manusia politik, metodenya sama, yang beda asalah "isi daganganya". Jadi film ini tidak ada hubungan dengan ilmu pengetahuan sejarah dan agama.

Problem yang dihadapi oleh kaum pro-khilafah dalam membuat film ini adalah, pertama, miskinya data untuk mendukung film tersebut. Mengapa? Karena, dari segi keilmuan sejarah memang tidak ada hubungan yang nyata antara Khilafah Islamiyah di Timur Tengah dan Nusantara. Bahwa ada kontak dagang, kontak kebudayaan, kontak korespondensi antara Nusantara dan dunia luar itu benar. Sebagaimana Nusantara juga punya kontak dengan India, China, Asia Tenggara, Madagaskar dan Timur Tengah termasuk Khilafah Islamiyah. Kontak budaya, politik, ekonomi dan militer ini lalu dianggap bahwa ada khilafah Islamiyah di Indonesia.

Bila cara berpikir kalangan pro-khilafah ini dipakai, maka bisa saja kalangan keturunan Tionghoa di Indonesia akan mengatakan bahwa Indonesia adalah bagian dari Kekaisaran Tiongkok, buktinya adanya banyak perdagangan Nusantara dan Tiongkok, Laksamana Cheng Ho mondar-mandir ke Nusantara, laporan I Ching kepada kaisar Tiongkok menyebuatkan adanya nama-nama kerajaan China dan raja dengan nama China.

Bila cara berpikir ini dipakai maka orang India juga bisa mengklaim bahwa Nusantara adalah bagian dari Kemaharajaan di India, entah apa namanya. Bukti-bukti itu sangat kuat yaitu adanya kerajaan Hindu di Indonesia, penggunaan bahasa Sansekerta, ada Mahabarata dan Ramayana, banyaknya candi-candi Hindu dan Budha yang berdiri di seluruh Nusantara.

Bila cara berpikir ini dipakai, maka kelak 1 abad yang akan datang akan ada orang Indonesia yang mengatakan bahwa Indonesia adalah bagian dari Kekaisaran Jepang, sebab Jepanglah yang memfasilitasi pembentukan BPUPKI dan PPKI, Proklamasi Kemerdekaan diberi tanggal kalender Jepang bukan kalender Masehi, Bung Karno isterinya orang Jepang. Produk otomotif dan elektronic yang ada di Indonesia sebagain besar buatan Jepang. Maka lengkaplah sudah bukti-bukti bahwa Indonesia adalah propinsi Kekaisaran Jepang. 

Atau, kelak 1 abad yang akan datang akan ada orang Indonesia yang mengatakan bahwa Indonesia adalah anggota North Atlantic Treaty Organization (NATO). Bukti-bukti itu telah nyata yaitu: Indonesia memiliki hubungan baik dengan pimpinan NATO Amerika Serikat. Indonesia juga punya hubungan dengan para anggota NATO, Inggris, Perancis dll. Para perwira Indonesia banyak yang sekolah di West Point, AS atau Breda, Belanda. Peralatan militer Indonesia sebagian besar buatan AS dan Eropa. Kerjasama pelatihan militer bilateral dengan AS sudah lazim dilakukan oleh Indonesia. Jadi, Indonesia adalah anggota NATO.

Tentu kita akan membantah bahwa Indonesia adalah bagiana dari Kekaisaran Tiongkok, kita juga akan membantah bahwa Indonesia adalah negara bagian Kekaisaran India, kekaisaran Jepang dan bantahan serupa untuk yang mengklaim Indonesia anggota NATO. Bantahan yang sama juga untuk klaim bahwa Indonesia adalah bagian dari Khilafah Islamiyah.

Tapi, bagaimanakah sebenarnya hubungan Nusantara dan Timur Tengah? Hubungan itu memang ada dan sangat intensif dalam perdagangan, kebudayaan, agama dsb. Namun, hubungan itu bukan suatu hubungan terstruktur bahwa Nusantara adalah bagian dari Khilafah Islamiyah manapun, sebagaimana hubungan Turki Usmani dengan negara-negara di Afrika Utara, Turki Usmani-Jazirah Arab, Turki Usmani-negara Balkan. Hubungan antara Turki-Usmani dengan wilayah-wilayah itu adalah antara pemerintah pusat dengan propinsinya. Hubungan semacam ini yang tidak ada antara Turki Usmani-Nusantara.

Jadi, film ini sangat menyedihkan dan memalukan. Ada segelintir orang dari bangsa Indonesia hanya menggunakan semangat belaka tanpa ada rasionalitas untuk sekadar membuktikan bahwa dirinya adalah hamba sahaya, abdi dalem, dari Turki Usmani yang megah. (wir)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun