Â
Para seniman Surakarta dari berbagai bidang membuat sebuah gerakan "memerdekakan" diri dari kondisi pandemi ini. Beberapa seniman itu adalah Hanindawan  (tokoh teater), Poer Meong  (tokoh teater), Zen Zul (pegelola rumah seni budaya), Hari Singo (fotografer), Hari Suryanto (pengajar dan filmaker), Albertus Titus ( pengajar dan seniman),  Yashinta Nathalia (penari), Rena Yudha Maharani (penari), Joko Jazz (event organizer), Gunarto Gondrong (Komposer), Ken Andamar (videografer), Iswahyudi T Yuwono (videografer) dan beberapa teman yang terlibat secara sukarela dan dengan gembira menjadikan ruang ekspresi kreatif ini menjadi cara memerdekakan diri dalam sutu kondisi yang tidak harus disikapi dengan sedih.Â
nDalemAgeng sebuah mini seri yang mengisahkan tentang kehidupan masyarakat kecil yang menjadi penopang penting dalam kehidupan sosial. Produksi ini didukung oleh Rumah Seni Banjarsari yang aktif menyelenggarakan kegiatan pertunjukan, pameran  dan diskusi seni.Â
Tokoh-tokoh utama dari mini seri ini adalah Pak Bon  seorang tukang kebon yang setiap hari merawat dan membersihkan kawasan Ndalem Ageng setiap hari, Soekir seorang tukang parkir yang selalu necis serta memiliki kecerdasan  lokal karena dia banyak berkelana,  Pak Jogo mantan preman yang sudah tua kemudian menjadi penjaga malam di nDalem Ageng, Yu Kus membantu pak Noto dibidang keuangan dan administrasi di nDalem Ageng, Pak Noto mengelola keberadaan nDalem Ageng, Rina seorang janda yang indekost di nDalem Ageng dan bekerja freelance dibeberapa usaha, Lisa seorang mahasiswi lemah lembut yang kost di nDlem Ageng, Mas Tinton adalah pacar dari Lisa yang selalu mengenakan pakaian dengan warna yang sangat mencolok (ngejreng).
Â
Bangunan CeritaÂ
 Cerita nDalem Ageng yang ditulis oleh Hanindawan melalui skenarionya sangat kontek dengan kehidupan masyarakat tertutama dengan kultur Jawa. Budaya ewuh-pekewuh (sungkan), rasan-rasan (ngerumpi), unggah-ungguh (tata krama) sangat terlihat dalam beberapa cerita dipaparkan melalui film. Kelugasan sebagai orang kecil nampak dari bahasa (Jawa campur Indonesia), lokasi serta kostum  yang digunakan dalam adegan  filmnya.  Dalam golongan wong cilik sendiri ada pembagian  secara berlapis, yaitu:
 1) Wong baku, yaitu keturunan orang-orang yang terdahulu pertama-tama datang menetap di desa. Ini merupakan lapisan yang paling atas;
 2) Kuli gondok atau lindung, yaitu terdiri dari orang-orang lelaki yang telah kawin, tetapi tidak mempunyai tempat tinggal sendiri, ia terpaksa menetap di rumah kediaman mertuanya. Ini merupakan lapisan tengah ;
 3) Joko, sinoman atau bujangan, yaitu mereka yang belum menikah dan masih tinggal bersama-sama dengan orangtuanya sendiri atau ngenger di rumah orang lain. Ini merupakan lapisan terbawah. Keberadaan lapisan atau penggolongan-penggolongan di atas menimbulkan adanya suatu hak dan kewajiban yang berbeda dari keluarga atau anggota keluarga tiap-tiap ketiga lapisan itu[1].
[1] Dwi Siswanto, 2010, Pengaruh Pandangan Hidup Masyarakat Jawa Terhadap Model Kepemimpinan, Â Jurnal Filsafat Vol.20, Nomor 3