Mohon tunggu...
Haris Sunansyah
Haris Sunansyah Mohon Tunggu... Arsitek - Arsitek

Melukis dalam tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dari Makan

27 Maret 2019   19:18 Diperbarui: 27 Maret 2019   19:26 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat terbaik makan adalah ketika lapar. Ya, seenak apapun makanannya, tapi kalau perut dalam keadaan sangat kenyang, masih mampukah kita menyantapnya? Dan sebaliknya, saat perut sangat lapar, makanan layak makan macam apapun, pasti bisa masuk dalam perut.

Itu seharusnya bisa kita pahami dan kita aplikasi. Namun dalam prakteknya, menanggapi bagaimana cara kita memenuhi perut yang lapar, bukan hanya masalah perut bisa terisi atau tidak. Ada banyak 'celah' yang seolah terbuka, dan membuka kemungkinan-kemungkinan untuk hanya sekadar mengisi perut.

Karena lidah. Padahal, lidah atau perut yang sebenarnya membutuhkan makanan? Perut kita yang lapar, tapi lidah kita yang seolah menuntut. Lidah mengelabui kita untuk memilih makanan macam apa yang akan kita makan. Padahal, enak tidaknya makanan itu relatif. Kalau kita tidak pernah merasakan bakso, mungkin sate adalah makanan paling enak yang pernah kita makan. Keduanya pun relatif, ada yang suka bakso, ada yang suka sate.

Lidah membuka celah untuk muncul keinginan agar memuaskan permintaannya. Lidah menuntut permintaan makanan rasa A, B, C, dan seterusnya. Dan ini membuat kita lupa, bahwa perut kita yang lapar, bukan lidah. Pun dalam perut, hampir tidak ada bedanya berbagai jenis makanan. Karena semua jenis dan rasa makanan, tujuannya hanya satu, agar perut merasa kenyang. Namun, akibat lidah, kita mencari pilihan-pilihan yang sesuai selera, sehingga kehilangan makna makan yang sebenarnya.

Namun tidak hanya lidah yang menuntut ini dan itu untuk menentukan makanan macam apa yang pantas untuk kita saring dan masuk dalam perut. Tempat untuk makan, embel-embel, dan segala pernak-pernik yang meningkatkan strata sosial pun menghipnotis kita untuk menentukan makanan macam apa yang pantas kita makan. 

Semakin mahal tempat makan, semakin meningkat pelayanan akan seolah meningkatkan status sosial. Kita lupa lagi, bahwa sebenarnya kita mengisi perut sebagai kebutuhan, dan bukan memenuhi keinginan untuk menikmati segala macam pelayanan dan pengakuan.

Seolah kita kehilangan pemaknaan dari makan yang sebenarnya. Kita banyak mendapat pengaruh untuk kebutuhan dasar yang harus kita penuhi. Segala macam hal menutupi kenapa kita membutuhkan makanan. Padahal, dengan kondisi perut yang lapar, segala macam makanan yang layak makan pun tak jadi masalah untuk mengisi perut.

Dalam hidup pun demikian, segala kebutuhan dasar untuk melanjutkan hidup, terkadang menjadi keinginan untuk memperoleh sesuatu yang lebih. Kita perlu lagi 'belajar makan' untuk bisa memahami hakikat kebutuhan dalam hidup. Dan menghindari keinginan-keinginan yang mengelabui. Karena memenuhi kebutuhan dasar hidup, seharusnya hanya menjadi alat untuk melanjutkan pencarian siapa diri ini, dan bukan mencari hal lebih dari kebutuhan yang cukup kita penuhi.

Kita semakin tidak tahu, mana yang menjadi kebutuhan, dan mana keinginan yang menutupi kebutuhan. Dari hal ini kita seharusnya bisa belajar, bahwa memenuhi kebutuhan bukan berarti kita harus menuruti keinginan. Terkadang kita diperbudak oleh materi, lupa pada hakikat kenapa kita membutuhkan.

Hakikat makan adalah mengisi perut, bukan untuk menuruti keinginan lidah. 

Pun demikian dengan hidup, kita penuhi yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan.  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun