Mohon tunggu...
Harison Haris
Harison Haris Mohon Tunggu... Freelancer - Lahir dan besar di Jepara dan Jakarta. Mantan pemain bola amatiran, sempat jadi wartawan olahraga dan sekarang tinggal di Depok. Menyukai dan meminati banyak hal, tapi baru bisa melakukan sedikit hal.

Lahir dan besar di Jepara. Mantan pemain bola amatiran, sempat jadi wartawan olahraga dan sekarang tinggal di Depok. Menyukai dan meminati banyak hal, tapi baru bisa melakukan sedikit hal.

Selanjutnya

Tutup

Bola

Membandingkan PSS Sleman, PSIM dan Persiba Bantul

4 Desember 2018   03:00 Diperbarui: 4 Desember 2018   04:22 1802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya pernah tinggal di Jogja, antara tahun 1995 hingga 1999. Di masa itu, aura PSIM jauh lebih kuat dibanding PSS Sleman, apalagi Persiba Bantul. Sekarang, harus diakui, PSS Sleman di atas angin.

Pada masa itu para pemain PSS Sleman sebagian besar diambil dari mahasiswa IKIP Yogya. Saat itu, IKIP Yogya membuka jalur khusus untuk anak-anak dari seluruh Indonesia yang punya prestasi olahraga. Di antara yang masuk adalah para pemain Persijap Yunior yang baru saja juara III Piala Suratin.

 Masa itu adalah peralihan nama IKIP Yogyakarta menjadi Univeritas Negeri Yogyakarta. Kemudian program ini berlanjut, hingga PSS Sleman seperti tak ada habisnya mendapat pasokan bibit-bibit unggul dari daerah-daerah yang mahasiswanya kuliah di IKIP Yogyakarta. Saya agak lupa, mungkin saat itu PSS Sleman masih main di divisi II B perserikatan atau selevel Liga 3 tapi  belum masuk putaran nasional. Karena dulu jenjangnya adalah Divisi Utama, Duvisi I, Divisi II A, Divisi II B. Kala itu PSS Sleman masih bermarkas di Stadion Trdadi.

Sementara itu, sebagian pemain PSIM adalah para pemain PS GAMA. Ya, PS GAMA ini unik. Meski dia didirikan dan mayoritas pemain adalah mahasiswa UGM, tapi kesebelasan ini tidak serta merta bagian resmi dari UGM. Kira-kira gambarannya begini, ada orang penting UGM yang mendirikan klub ini dan membiayai penuh klub ini. Para pemain pun di-asramakan dan mendapat asupan makanan bergizi. Sementara Persiba Bantul saat itu meski sudah lahir tapi namanya jarang terdengar.

Beberapa tahun kemudian, setelah ada aturan Pemda dilarang membelanjakan APBD untuk tim sepakbola, semua berubah. PSS Sleman maju pesat. PSIM kian luntur. Persiba lambat laun mulai dikenal. Dan saat ini, baik PSS Sleman maupun Persiba mempunyai stadion yang lebih bagus dari Mandala Krida. Bisa jadi, ke depan Persiba bisa mengikuti jalan PSS Sleman dari sisi prestasi.

Apakah ini pertanda masyarakat Sleman lebih gila bola dibanding masyarakat kota Jogja? Dalam batas tertentu, iya. Tapi tidak bisa diambil kesimpulan gampang seperti itu. Apa yang terjadi memang seperti yang terjadi di belahan dunia manapun.

Wilayah dengan populasi besar, akan mendapat berkah  fans-base yang besar juga.  Penduduk Sleman hampir 3 kali lipat dari penduduk kota Jogja. Logisnya, PSS Sleman memang scara "alamiah" akan mempunyai fans yang jauh lebih besar dibanding PSIM.

Sekarang kita lihat, tim-tim besar di Eropa adalah tim yang berasal dari kota dengan populasi besar semisal Barcelona, Real Madrid, Bayern Munchen, AC Milan, Liverpool, dll. Di Indonesia pun sama. Tim besar yang saat ini bercokol di Liga 1 adalah tim dari kota yang berpopulasi besar seperti Persib Bandung, Persija Jakarta, PSMS Medan, Persebaya Surabaya , PSM Makasar, Sriwijaya FC.

Lalu apakah perjuangan PSIM lantas lebih berat 2-3 kali lipat dari PSS Sleman? Secara matematis, ya. Karena sampai saat ini, pendapatan terbesar dari klub adalah tiket penonton. Jika stadion sepi, pendapatan berkurang. Nah, faktanya adalah Stadion Maguwoharjo kapasitasnya jauh lebih banyak dibanding Stadion Mandala Krida. Sudah begitu, stadion selalu sesak.

Apakah dengan demkian, PSIM akan tertatih-tatih dalam mengeja perjalanan di dunia sepakbola? Logikanya, iya. Tapi sepakbola tidak selalu berbanding lurus dengan logika. Leicester City juara Liga Inggtis, siapa yang menyangka? Tapi tentu berat untuk ke depannya Leicester terus-menerus di puncak. Ya, itu. Karena fans-base mereka tidak sekuat Manchester United atau Liverpool. sekali lagi, dalam sepakbola fans-base sama dengan uang.

PSIM memang harus melupakan masa-masa mereka dulu, di mana semua orang Jogja (Bantul, Sleman, Gunungkidul, Kulonprogo, Yogya Kota) mendukung mereka. Sejak PSS Sleman lahir dan kemudian berkembang, sepakbola Jogja tak pernah sama lagi. Apalagi sekarang Bantul juga sudah punya kesebelasan yang berlaga di Liga 3. Bisa jadi, kelak akan lahir PS Wates atau PS Wonosari.

Jadi, PSIM akan selamat dan terus berkembang bila mampu mempertahankan fans-base saat ini. Lalu, juga ada orang Jogja (atau orang luar) yang gila bola dan mau "ancur-ancur"-an mendukung PSIM. Tentu dukungan finansial yang paling utama.

Kota Jogja juga harus punya tokoh kuat di  kalangan supoter selevel Yuli Sumpil atau Ayi Beutik yang mampu menggerakkan masyarakat Jogja untuk mendukung PSIM. Kalau perlu "urunan" atau iuran untuk membesarkan PSIM. Syukur-syukur suporter punya saham.

Stadion Mandala Krida juga harus bersolek. Sehingga warga Jogja ada kebanggaan saat datang ke Stadion. Selanjutnya, tokoh seperti walikota juga harus "hadir" dalam dunia sepakbola Jogja. Kalau tidak bisa membantu finansial ya... mendukung secara moral. Apa yang dilakukan oleh Ridwan Kamil datang  membaur bersama bobotoh saat Persib bertanding (sambil bertelanjang dada lagi) adalah contoh gamblang bagaimana tokoh masyarakat mendukung klub sepakbola yang mewakili kotanya.

Tapi masalah utama PSIM tahun ini adalah dana. Penampilan mereka oke. Hanya karena dana, mereka kena sanksi dan tidak bisa melanjutkan ke putaran 8 besar LIGA 2. Ya, PSIM kena sanksi penguranhan 9 poin dari FIFA, karena menunggak gaji pemain sebesar 1 milyar. Kalau kendala uang 1 milyar itu terselesaikan, PSIM lolos ke babak 8 besar dan bisa jadi sekarang sudah lolos ke LIga 1. Karena poin PSIM seandainya tidak dikurangi 9 poin, sudah cukup untuk lolos ke 8 besar LIga 2.

Kalau dihitung kasar, dengan penduduk kota Jogja adalah 400 ribu, maka per orang hanya perlu iuran 2.500 rupiah untuk membebaskan PSIM dari sanksi FIFA. Tapi tak ada tokoh masyarakat yang bergerak. Media Massa lokal juga adem ayem.

Dokpri
Dokpri
Saya justru melihat antusiasme sepakbola dari orang-orang Jogja yang ada di kota lain. Semisal dari Bambang Soepijanto. Dia adalah mantan Dirjen Planologi Kehutanan Kementrian LHK, saat ini juga menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO).

Dia berusaha menonton tim-tim asal DIY yang berlaga di Jabodetabek. Kalau tak sempat nonton, Bambang Soepijanto akan mengirimkan logistik berupa snack dan minuman untuk ofisial dan sebagian suporter. Saat PSS Sleman bertanding di Stadion Benteng Tangerang beberapa bulan lalu, Bambang melakukan hal itu.

Namun sebagai warga Jogja yang pindah-pindah tempat (pernah bekerja di Gunung Kidul, Kota Jogja, Bantul, Kulonprogo dan Sleman) Bambang Soepijanto memilih semua tim asal DIY. Baginya susah menentukan menudukung salah satu tim, karena ikatan dia terhadap seluruh wilayah Jogja sangat kuat.

Itu juga yang mendorong Bambang Soepijanto mencalonkan dirinya sebagai DPD RI Dapil Yogyakarta. Dia ingin memajukan Yogyakarta. Selama ada peluang memajukan Jogja (lewat jalur perjuangan apapun), dia akan berjuang untuk Yogyakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun