Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mewaspadai Konflik Horizontal di Indonesia Pasca Reformasi

9 Oktober 2021   20:57 Diperbarui: 9 Oktober 2021   21:19 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Konflik, satu kata yang kini begitu sering kita mendengar khususnya di Indonesia pasca bergulirnya masa reformasi, seperti konflik poso dan KKB di Papua sebgaai percontohan. 

Melejitnya pemberitaan yang berkaitan dengan konflik berbanding lurus dengan pertukaran informasi publik yang begitu cepat menyebar dan bergulir menjadi bahan pembicaraan publik. 

Media online dan daring lainnya begitu haus akan pemberitaan tentang konflik masyarakat dari tingkat terendah sampai dengan nasional.

Konflik kecil-kecil yang terjadi di daerah terpencil bisa menjadi pemberitaan di beranda koran nasioanal. Informasi yang viral di sosial media, tidak jarang menjadi konflik di dunia nyata. Kasus Meiliana menjadi bukti nyata bagaiaman latensi konflik etnis menjalar via media sosial kita ke dunia nyata.

Kini orang begitu mudah tersulut emosinya melalui media sosial mereka. Kemungkinan karena media sosial sebagai representasi dari ranah privasi dan terjadi saat itu juga. 

Isu SARA dan partisan seakan begitu jadi duri bagi sejarah Indonesia. Berbagai pertikaian, bentrok antar warga dan perselisihan antar penduduk bisa terjadi kapanpun dan dimanapun asal ada pemantiknya.

Bentuk konflik bisa berupa konflik kepentingan antar calon pemimpin daerah, konflik horisontal, konflik vertikal, kekerasan dalam rumah tangga, konflik etnis, konflik struktural ataupun konflik SARA seperti kasus pengusiran jamaah Ahmadiyah yang terjadi baru-baru ini.

Berkaca dari pernyataan dan fakta tadi, sekiranya manusia tidak akan lepas dan selalu berdampingan dengan konflik diri. Konflik seakan menjadi satu kesatuan dari kehidupan manusia dan sesuatu yang niscaya dalam diri manusia. Konflik dan gesekan antar individu menjadi bagian dari sunnatullah yang akan selalu hadir dalam sendi nafas manusia.

Siapapun mereka akan sulit menghindari apa yang kita sebut konflik. Permasalahannya hanya soal detail kapan, bentuk dan kadar yang beragam. 

Oleh karena itu, langkah yang tepat bagi individu tidak dalam taraf menghindari dari konflik namun berfokus tentang bagaimana kita mengelola dan mengendalikan dampak dari konflik yang terjadi atau akan terjadi di kemudian hari.

Kehidupan dan keseharian manusia beresiko menimbulkan potensi konflik diri. Indonesia sebagai role model muslim moderat memiliki tanggung jawab kosmologis untuk menghadirkan wajah Islam yang rahmatan lil 'Alamin. 

Tidak hanya Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah saja yang berfokus dalam menciptakan kedamaian antar sesama. Namun secara makro, Pemerintah sebagai otoritas yang berweanang secara proaktif menghadirkan langkah strategis untuk merealisasiakan harapan bersama tersebut.Secara natural ia akan muncul dalam keadaan yang tidak kita sadari dari awal.

Berbeda dengan malaikat, manusia dikaruniai oleh emosi dan akal untuk bisa memilah mana perbuatan yang baik dan merusak. Ketika manusia mampu menggunakan rasional dalam tindakan tentu akan menimbulkan pengaruh yang baik pula. 

Namun ketika manusia dipenuhi emosi yang tidak terkontrol, resiko buruk akan muncul dari perbuatan yang destruktif. Karakter seperti ini bersemayam dalam setiap pribadi manusi, tidak mengenal agama, ras dan gender.

Sebagai sebuah karakter yang amat buruk, potensi untuk membunuh dan merusak tidak bisa dihilangkan dengan serta merta. Konflik akan selalu eksis selama manusia hidup di dunia. 

Selain kebaikan yang membungkus hidup, perilaku menghilangkan martabat dan merusak lingkungan akan terus berkembang dalam berbagai bentuk.

Kini seakan manusia begitu mabuk dengan agama mereka. Menjunjung tinggi ego kelompok partisan. Agama begitu ditarik dalam ranah politik praktik untuk memperoleh dukungan dari kelompok masyarakat tertentu. Alangkah naifnya politisi dan bodohnya kelompok yang mengamini perkataan dari narasi yang dibuat dan diproduksi.

Potensi manusia dalam merusak menumpahkan darah individu menjadi bahaya yang sewaktu-waktu bisa menjadi akar persoalan kekerasan dalam masyarakat. Potensi merusak bisa berbentuk kecil ataupun dalam skala yang besar.

Manusia berkewajiban untuk mengelola potensi merusak dan mencari serta meresolusi konflik yang muncul. Memahami tipe konflik yang muncul, memudahkan manusia berekreasi dan menanganani konflik tersebut. Meresolusi konflik yang ada akan membantu seorang atau kelompok keluar darinya dan menjadikan diri terbebas dari konflik remeh.

Mengantisipasi konflik agar tidak muncul dalam bentuk kekerasan dan berkembang menjadi bentuk yang lebih besar, maka perlu melakukan langkah strategis untuk meresolusi konflik atau paling tidak meminimalisirnya. Mengubah semangat konflik menjadi kekuatan positif mendorong terhadap menciptakan tatanan baru dan kebaikan kualitas bermasyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun