Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

"Benang Kusut" Kemenag dalam Pemilihan Rektor

22 Mei 2019   07:37 Diperbarui: 22 Mei 2019   07:43 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rebutan Kursi Rektor ~ Sumber gambar: Twitter Jinggarasa

Sejak dua atau tiga tahunan lalu banyak terjadi badai kepentingan di lembaga PTKIN di bawah naungan Kemenag. Akar masalahnya adalah munculnya Peraturan Kementerian Agama nomor 68 tahun 2015 yang memuat bahwa rektor Perguruan Tinggi Negeri di bawah Kemenag dipilih, diangkat dan ditetapkan oleh menteri.

 Mengacu dalam PMA tersebut pula menteri memiliki kendali penuh dalam mengangkat dan menetapkan rektor. Menteri harus memilih beberapa anggota tim penyeleksi, namun anggota tersebut juga dipilih oleh menteri. Tim penyeleksi tersebut hanya merekomendasikan tiga calon nama rektor yang akan dipilih. 

Sah sah saja menteri menyodorkan nama lain di luar rekomendasi tim penyeleksi. Dalam pemilihan rektor UIN Maliki Malang dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memiliki kecenderungan yang mengarah kepada hal tersebut.

Kekuasaan di mana-mana memiliki kecenderungan bagi pemegangnya melakukan tindakan seweneng-wenangan. Jual beli jabatan kian santer terdengar di lingkar kuasa. Ketum PPP Romahurmuzhy menjadi bukti konkret praktek tersebut. 

Kekuasaan dan kesewangan kerapkali jadi bahan dagangan yang menjerumuskan diri. Pemusatan pemilihan kepada tangan menteri menjadi alasan untuk mengurangi jejak politis di perguruan tinggi. 

Pemilihan rektor melalui senat kerapkali membuat polarisasi antara pihak yang meang dan kalah. Pihak yang menag cenderung mengalineasi pendapat kelompok pendukung rektor yang kalah.

Berbagai peraturan tentu memiliki konsekuensi yang harus dipertanggung jawabkan bersama. Pemilihan rektor melalui jalur pengangkatan menteri juga bernuansa politis. Bahkan memiliki ranah yang semakin luas dan jangkauan yang lebih besar. 

Jika melalui proses sidang senat, calon rektor hanya berkutat dalam tingkat universitas, namun sekarang melebar sampai para anggota Dewan, pejabat di lingkaran Kemenag, Pentolan Ormas tertentu ikut andil dalam lobi-lobi pemilihan rektor.

Menyerahkan pemilihan rektor di tangan menteri sama halnya menjuruskan kampus dalam gelanggang politik nasional, mereka yang paling kuat lobi dan paling dekat denganya, memiliki porsi keterpilihan yang semakin besar pula. 

Pengangkatan rektor oleh menteri malah membuat dilematis kampus ke dalam lingkar politik dan nepotisme yang lebih luas. Pemilihan anggota senat kampus hanya melibatkan lobi politik di tingkat universitas saja. 

Distribusi senat pengakatan rektor akan merata dan membagi dalam kelompok kerja kecil. Berbeda dengan rektor yang diangkat oleh menteri tentu akan mementingkan tim sukses yang telah membantu meraih kursi rektor. Rigid memang mencari dampak positif memilih rektor melalui keputusan satu menteri saja.

Mengembalikan fungsi senat menjadi jalan strategis untuk menyudari benang kusut di tubuh kemenag. Pemilihan rektor dan dekan oleh senat membuat kekuasaan tersebar dan saling mengoreksi satu sama lain. Seyogyanya pemilihan dekan kembali ke model senat agar mengurangi potensi korup rektor terkait. 

 Senat merupakan penyeimbang yang paling maslahat karena bersifat kolektif. Mereka adalah orang yang telah melalui jenjang akademik  sampai mencapai posisi guru besar. Meski kita menyadari bahwa senat pun memiliki kepentingan karena berasal dari ragam latar belakang keilmuan yang berbeda. 

Mereka telah melalui proses panjang untuk meraih jabatan senat. Pemilihan kolektif oleh senat yang mengerti dan memahami kondisi personal kampus tersebut menjadi pilihan yang bijak dan rasional.

Apabila menteri berkeinginan untuk ambil bagian dalam pemilihan rektor didasarkan dalam prinsip kontrol kuasa. Pengambilan penuh pengangkatan rektor di tangan menteri adalah bentuk tindakan yang sewenang-wenang dan berpotensi nepotisme. Porsi 20 persen suara menjadi solusi konkret dari permasalahan. 

Momentun ini menjadi titik balik kita mengevaluasi kemaslahatan pendidikan kita yang kian terpuruk. Mencabut PMA 68/2015 menjadi jalan pembuka perbaikan sistem pengambil kebijakan untuk mengembalikan fungsi lembaga pendidikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun