Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

"Mendzalimi" Kematian Petugas Pemilu

20 Mei 2019   10:44 Diperbarui: 20 Mei 2019   11:26 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kotak Suara Berdarah ~ Sumber gambar: Fakartun

Hingga akhir mei 2019, tercatat ada 575 Petugas Kelompok Penyelenggara Pemngutan Suara (KPPS) yang meninggal. Jumlah yang sakit mencapai 3.000 orang. Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengonfirmasi jumlah tersebut. KEMENKEU bersinergi untuk memberikan santunan dalam empat jenis santunan: meninggal, cacat permanen, luka berat dan luka sedang.

Benarkah ini bentuk kezaliman pemilu Indonesia? Memang cukup sulit mennjawab pertanyaan tersebut. Secara ilmiah, penyebutan dan pembuatan opini bahwa petugas KPPS yang meninggal sebagai korban pemilu masih diperdebatkan.

Belum ada kajian yang dapat memastikan secara penuh apakah kematian dan tragedi tersebut memang memiliki keterkaitan, baik secara langsung maupun tidak langsusng dengan pelaksanaan tugas mereka sebagai petugas pemilu. Belum ada kejelasan ilmiah juga untuk mengatakan bahwa petugas pemilku mengalami peningkatan resiko kesakitan dan kematian dibandingkan dengan mereka yang tidak menjadi petugas pemilu.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tentu dibutuhkan kajian ilmiah dengan metodologi yang tepat dan data yang akurat pula. Menyimpulkan dengan hanya merujuk angka kematian dan cidera sebuah pernyataan yang konyol dan tidak berdasar. Isu ini lalu menjadi bahan politik untuk menyerang lawan politik atau bertahan di belakang pembelaan. 

Petugas pemilu perlu diletakkan dalam narasi kepahlawanan untuk mengafirmasikan bahwa betapa beratnya pemilu yang telah dilakukan sembari menegasikan faktor lain yang berpotensi krusial untuk mendeligitimasi pemilu itu sendiri.

Di satu sisi, sebuah angka kematian tersebut menjadi auto kritik terhadap betapa melelahkannya pelaksanaan pemilu. Sebagian bahkan menuduh pihak lain yang menjadi pengusul pemilu serentak untuk diproses dalam pengadilan pidana. Ada pula yang menyuarakan perlunya proses autopsi dan penyelidikan forensik terhadap kematian massal petugas pemilu ini.

Namun apakah kajian ilmiah yang mendalam diperlukan untuk mencari ulang definisi korban atau tragedi pemilu serentak tersebut? Kajian tersebut tentu amat dibutuhkan untuk memberikan pembatasan yang tegas dan mencegah pengambilam kesimpulan yang serampangan dan politis. Akan tetapi, yang paling krusial dari peristiwa tersebut adalah mengambil pelajaran dari pelaksanaan pemilu yang memang sejak awal terindikasi memforsir kerja petugas pemilu.

Ada begitu banyak faktor teknis lapanagan yang dapat memicu memperburuknya kesehatan dan perlu dievaluasi secara mendalam. Dalam kacamat masyarakat awam, faktor tersebut sudah dapat diindikasi tanpa kajian ilmiah yang njelimet. Jika kita bandingkan dengan peraturan buruh saat ini yang memberikan batasan waktu kerja maksimal delapan jam, begitu pula seharusnya pola kerja petugas pemilu kala itu. 

Memperberat beban jam KPPS melebihi batas merupakan bentuk perbudakan era baru. Dengan kata lain, kebutuhan petugas KPPS yang lebih banyak. Untuk menggenjot  intensi dan ketertarikan masyarakat untuk ikut serta dalam kegiatan pemilu sukarela perlu ditingkatkan.

Memperbaiki sistem pemilu merupakan tugas bersama pemerintah, parpol dan masyakat untuk membentuk pemilu yang menyehatkan dan menggembirakan. KPU sebagai perpanjangan tangan pemerintah perlu menyusun langkah perbaikan dalam beberapa tahun ke depan untuk melindungi keselamatan petugas pemilu.

Selanjutnya, membatasi siapa saja yang pantas sebagai petugas pemilu, bukan hanya batas usia minimal, melainkan juga batas maksimal usia petugas sehingga bisa meminalisir risiko negatif terhadap kesehatan dapat direduksi. Proses penghitungan surat suara yang banyak telah memakan waktu dan melelahkan petugas, serta menjadi ganjalan uatama pemilu.

Semua kontestan berkeinginan untuk memenangi pemilu, namun di luar kemenangan tersebut apakah benar kita tengah berusaha memperbaiki demokrasi kita? 

Kezaliman demokrasi adalah jika kita memutuskan untuk acuh dan abai terhadap akar masalah dan keluar dari konteks untuk memperbaiki pelaksanaan pemilu pada masa depan. Kehilangan empati terhadap mereka yang gugur dalam pelasksaan pemilu adalah sebuah tindakan amoral. Apakah kita masih membiarkan ketidakberesan ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun