Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kampanye Politik Berkedok Dakwah

1 Maret 2019   08:06 Diperbarui: 1 Maret 2019   08:15 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik dan Dakwah ~ Ilustrasi: Instagran KomikFaktap

Sentimen dan isu agama mendapatkan porsi untuk muncul dalam ranah publik secara masif ketika Indonesia yang masyarakatnya heterogen dan religius bertemu dalam sistem demokratis yang pancasilais. 

Kelompok sayap kiri yang ektremis-radikalis mendapatkan angin segar untuk memperjuangkan agenda mereka. Dialektika negara dan agama di negara berkembang seperti ini mempunyai ciri khas tersendiri, yang berbeda dengan masyarakat sekuler di negara barat atau negara yang menganut sistem kerajaan semisal di Timur Tengah. 

Di awal terbentuknya negara Indonesia, gerakan dan perjuangan agama khususnya Islam memiliki porsi yang teramat besar sehingga agama dan negara tidak terpisahkan, sekalipun kita bisa membedaknnya dalam segi subtansial dan filosofisnya. 

Pancasila sebagai medium penghubung diantara dua entitas tadi jika amati secara mendalam terdapat rasa dan semangat paham toleransi, sosialsime dan liberalisme dalam keseluruhan silanya. Keseluruhan sila tadi diekstrakkan menjadi ideologi negara sebagai hasil historis-politis dimana nantinya akan terkristal menjadi sumbangsih Indoenesia dalam segi kenegaraan. 

Ketuhanan dalam sila pertama merujuk pada sebuah pemikiran filosofis yang konseptual, sedangkan bentuk kerjanya, kebertuhanan menjadi wilayah aksi warga negara dan pemerintahan untuk meyakini dan peduli tentang keberadaan Tuhan, tidak merujuk dalam ranah sekuler maaupun agnostik. Ekspresi kebertuhanan masuk dalam ranah privat dan komunal yang difalitisasi dan dilindungi haknya oleh negara. 

Kementerian Agama adalah bentuk real kehadiran negara yang memiliki kewajiban untuk membina kehidupan beragama dan pendidikan. Pemerintah mengelontorkan dana sekitar 60 Triliun untuk menghidupi personal dan gagasan yang diselengarakan oleh pihak terkait. 

Kenyataan ini tentu mengcounter anggapan bahwa negara dan pemerintahan abai dan anti terhadap agama. Namun muncul pertanyaan dari publik tentang mengapa hanya enam agama yang diakui oleh negara, padahal definisi agama begitu rigid dan inklusif. 

Tentu ini akan merubah dan berimplikasi baru tentang konsep Tuhan, Utusan, Kitab Suci dan peraturan peribadatan suatu komunitas kepercayaan tidak bisa digeneralisasi dan digebyah uyah oleh mereka yang diakui oleh pemerintah. 

Konsep agama satu dengan lain tentu berbeda, begitu pula tentang konsep kitab suci dan Nabi. Oleh karena itu, penetapan definisi sebuah agama merupakan produk politik yang berpengaruh pada dana yang dikucurkan dan aparat yang membinanya. Setiap agama memiliki pluralitas aliran dan pemuka agama yang tingkat ilmu dan sudut pandangnya tentu amat berlainan. 

Permasalahan akan kian runyam bila penjelasan akhir harus datang dari wahyu Tuhan yang diyakini sebagai pencipta agama yang diturunkan untuk manusia lewat utusan-Nya. Akan tetapi hal tersebut teramat mustahil, meminta klarifikasi dan konfirmasi kepada utusan-Nya aja sulit apalagi dengan Tuhan. Namun apakah kita bisa seenak sendiri mempermainkan agama? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun