Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Boneka Lelaki Kolong

3 Januari 2019   07:23 Diperbarui: 3 Januari 2019   08:30 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kolong Jembatan || Sumber gambar: Haris Fauzi Photo

Namaku Cuplis. Ya, hanya Cuplis tanpa julukan apapun. Aku tak tahu alasan orang tuaku memberi nama seperti itu. Bagiku, nama itu sangat lucu dan aneh. Tapi, melihat latarbelakang pendidikan orang tuaku yang hanya tamat SD, akhirnya aku memakluminya. Kadang muncul sebersit rasa bangga di hati ketika memikirkan nama itu. Tak ada yang menyamai nama itu di dunia ini. Aku tak tahu dimana aku dilahirkan ibuku, tapi aku tahu dimana aku ditemukan oleh orang tuaku sekarang. Di samping tempat sampah. 

Dulu aku ditemukan ketika tubuhku masih berlumuran darah. Kata mereka, aku tak menangis seperti bayi biasanya, bahkan mereka sempat mengira aku mati. Aku hidup dan besar bersama dua orang tua dan seorang adik yang masih kecil di kota metropolis, Jakarta. Aku dan dua orang tuaku bekerja sebagai pemulung. Bersama puluhan, bahkan ratusan pemulung lain, setiap hari aku berlomba mengais-ngais sampah dimanapun tempatnya. Rumahku ada di kolong jembatan. Sebenarnya, jika dilihat dari bentuknya tidak pantas disebut rumah. Bangunan itu terbuat dari papan bekas berukuran 3x3 meter dan hanya beralaskan tikar. Setiap bulannya, kami harus berhadapan dengan Satpol PP yang selalu membokar rumah kami dengan alasan merusak pemandangan kota. Sungguh alasan yang tak berperikemanusiaan, menurutku. Jika musim penghujan, kami harus bersiap pindah manakala banjir mengancam. 

Di kolong jembatan ini, kami juga memiliki tetangga. Mereka adalah keluarga Parjo dan satu tetangga baru bernama Hadi. Hadi berasal dari Pekalongan, kota batik. Kerukunan antar tetangga kami dapat dikatakan harmonis. Tidak ada kedengkian dan rasa iri yang muncul diantaranya. 

Namaku Cuplis. Ya, hanya Cuplis tanpa julukan apapun. Adikku bernama Anik. Nama yang lebih bagus dari namaku. Ia berperawakan kecil, kurus dan mempunyai wajah yang manis. Demi dia, aku rela membantu Ayah mencari barang berharga dari tumpukan sampah setiap hari untuk menyekolahkannya. Dengan harapan, kelak dia tidak menjadi pemulung seperti Ayah ataupun kakaknya. Seminggu lagi, adikku yang berusia 7 tahun berulang tahun. Ingin rasanya aku memberinya hadiah. Sekedar membagi kebahagiaan, meski itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan yang didapat anak lain seumurannya. 

Siang itu, sepulang kerja, kutemukan adikku bermain dengan bonekanya yang sudah lusuh dan kumal, bahkan sudah robek di sana-sini. Aku terenyuh, tenang saja Dek, nanti akan aku ganti bonekamu dengan yang baru. Anik melihatku memperhatikannya, Sudah pulang, Kak? Aku mengangguk, Sudah, tapi sepertinya mau berangkat lagi. Kamu sudah makan? Ia balas mengangguk, Hati-hati, Kak. Aku tersenyum. Adikku itu begitu lugu. Saat keluar rumah, aku mengajak Parjo turut memulung di TPA. Malas, Ples. Besok saja aku ke sana. ujarnya lesu. Harga BBM akan dinaikkan, kamu sudah tahu berita itu? Ia bertanya. Aku menggeleng, Kenapa? . Katanya gara-gara harga minyak mentah dunia naik, atau apalah. Aku mendengus, 

Memangnya Indonesia enggak punya sumur minyak sendiri ya? Semakin hari pemerintahan kok semakin tak waras saja. Kataku kesal. "Dengar-dengar, banyak demo soal masalah ini Ples. Aku berpikir, harga BBM dinaikkan? Apa pemerintah sudah tak lagi memperhatikan nasib rakyat kecil yang hidup serba kekurangan? Untuk makan setiap hari saja sulit. Ironis, kami miskin di negeri yang terkenal kaya raya. Saat itu juga aku teringat boneka adikku. Aku harus membelikannya boneka, tapi uang darimana bisa kudapat? Padahal hari ulang tahunnya tinggal sebentar lagi. Aku akhirnya pamit pada Parjo untuk pergi ke TPA. Yah, mau darimana lagi aku mendapat uang selain dari memulung? 

Namaku Cuplis. Ya, hanya Cuplis tanpa julukan apapun. Suatu hari, ketika aku baru sejenak melangkahkan kaki dari rumah, kudengar Paijo memanggil. "Ada apa Jo? tanyaku padanya. Ada rezeki Ples. Kalau kamu mau ikut demo masalah BBM di Istana negara, kita dibayar limapuluh ribu. Jawabnya dengan penuh semangat. "Demo? Suruhan siapa itu? "Orang-orang dari Partai Demokrasi Rakyat Perjuangan. Maklum, partai oposisi. Mereka pasti sedang cari simpati rakyat.

Aku teringat kado ulang tahun Adikku. Demi dia, akhirnya kuputuskan mengikuti ajakan Parjo. Oke, siang nanti kita berangkat. Suruh Parjo. Aku mengangguk mantap, demo ini akan jadi pengalaman pertamaku berunjuk rasa, ujarku dalam hati. Namaku Cuplis. Ya, hanya Cuplis tanpa julukan apapun. Hari ini aku baru pertama berdemonstrasi. Aku berjejalan dengan puluhan orang lain, membawa tulisan-tulisan penyeru aspirasi. Aku dan kawan-kawan demonstran lainnya disuruh mengikuti apapun perkataan Orator yang berada di depan. Orator itu dengan semangatnya meluapkan kritik-kritik pedas kepada pemerintah. 

Di belakangnya, tampak pagar berduri memanjang dan satuan petugas keamanan bernama sabhara. Selang beberapa menit, Orator berkata dengan lantang sambil memegang megaphone di tangan kirinya, Kita sudah lama menunggu perwakilan dari pimpinan muncul, tapi tidak ada satupun dari mereka yang menampakkan diri. Ayo, kawan-kawan! Terobos benteng pertahanan!. Terobos! Terobos! Terobos! Teriak para demonstran semangat. 

Seketika itu juga, para demonstran maju beberapa langkah dan menghancurkan pagar kawat berduri. Kami berhadapan dengan para sabhara dan melakukan aksi dorong untuk masuk. Aku merasa sesak terdorong dari belakang oleh puluhan demonstran. Tiba-tiba, melesat dari arah belakang, sebuah botol air mineral yang mengenai salah seorang petugas sabhara. 

Para petugas sabhara berang, mereka pun langsung menyibak kerumunan demonstran demi menangkap pelaku pelempar botol tersebut. Aku hanya terpaku tanpa bisa berbuat apa-apa, sementara para sabhara mengejar pelaku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun