Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Aku dan Kau, Memilih Beda atau Menyamakan Diri

22 September 2018   16:09 Diperbarui: 22 September 2018   16:27 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gerakan Kesetaraan Gender selalu gradual di setiap waktu. || Sumber gambar : Instragram Zizi

Gerakan memperjuangkan persamaan hak telah lahir kembali di kalangan  wanita hampir di seluruh dunia. Tentu hal itu patut kita hormati sepanjang tuntutan itu realistis dan sesuai dengan kodrati wanita.

Mengapa demikian?  Karena tidak semua yang dapat dikerjakan wanita dapat dilakukan oleh lelaki, demikian juga sebaliknya. Mungkin akan dengan mudah kita jelaskan bila stir mobil ingin disamakan fungsinya dengan roda mobil itu, atau sebaliknya.  Demikian juga fungsi wanita yang dapat melahirkan anak tidak dapat digantikan fungsinya oleh seorang lelaki. Jadi memang persamaan hak itu tidak dapat diciptakan untuk semua kasus.

Pernah salah seorang temanku membuat pertanyaan yang menggoda.  Dia memberikan komentar bahwa Islam  itu untuk lelaki, bukan untuk perempuan.  Dia memberikan salah satu contoh yang dapat menggoda kaum ibu-ibu untuk setuju dengan pendapat dia.  Yaitu, kenapa lelaki boleh mempunyai lebih dari seorang istri, tetapi seorang perempuan tidak boleh mempunyai suami lebih dari satu. Itu tidak adil, kata temanku.  

Kemudian saya bertanya di mana letak pernyataan itu yang meposisikan Islam hanya untuk pria atau berlaku tidak adil kepada wanita? Dia menjelaskan lebih lanjut bahwa seolah-olah lelaki itu diberi bonus untuk memiliki istri banyak ketimbang seorang perempuan hanya diperkenankan satu suami.

Tentu hal yang berkaitan di atas tidak terlepas dari persyaratan  seorang lelaki boleh beristri sampai dengan empat perempuan. Hanya saja, persyaratan itu diperlonggar dan dimodifikasi oleh orang-orang yang memang mempunyai naluri untuk memadu.

Mereka dengan mudah mengatakan bahwa Islam menghalalkan mempunyai istri sampai dengan empat sambil menyitir ayat-ayat yang terdapat di dalam Al Qur'an. Tanpa memperhatikan pertimbangan-pertimbangan lainnya.  Terutama dituntut untuk berlaku adil.

Seandainya seorang perempuan diperkenankan mempunyai suami lebih dari satu, kemudian dia melahirkan seorang bayi.  Tentu supaya jelas siapa ayahnya harus dilakukan tes DNA, tapi kalau sifat si bayi itu perpaduan antara sifat dan ciri dari beberapa suaminya bagaimana? Kemudian di pihak lain bagaimana seorang istri nanti bisa adil membagi waktu dengan suaminya.  Kasihan yang kena giliran pada saat si istri itu sedang menstruasi atau sedang melahirkan dan masa nifas.

Sebenarnya berdasarkan sifat-sifat kodrati perempuan dan lelaki, Islam telah memberikan hak yang adil.  Sebagai contoh, seorang lelaki bisa mempunyai istri sampai dengan empat orang perempuan setelah memenuhi persyaratannya, tetapi ini tidak berlaku untuk perempuan.  

Di sisi lain, seorang perempuan bisa nikah dengan seorang lelaki yang menjadi suami orang lain.  Kita tahu, tidak mungkin seorang lelaki, yang sekalipun boleh beristri empat, dapat menikahi seorang perempuan yang terikat pernikahan dengan lelaki lain.

Dapatlah dipahami kalau ingin menuntut persamaan hak antara lelaki dan perempuan adalah hal yang wajar. Tuntutan itu tentunya didasari oleh argumen yang kredibel. Tentu saja argumen itu tidak dihadapi dengan otot, tetapi dengan otak, bilamana kita tidak setuju dengan itu.

Kemudian di sisi lain, untuk memudahkan permasalahan kenapa kita harus sulit mencari pembenaran masalah itu selama  masih banyak lelaki yang mampu menjadi imam sholat Jum'at? Dari azas penyederhanaan argumen itu, mungkin pro kontra yang hanya menghabiskan tenaga, waktu dan pikiran akan dialirkan kepada persoalan urgen lain yang besar manfaatnya daripada mudaratnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun