Mohon tunggu...
Pitula
Pitula Mohon Tunggu... -

A wanderer in your journey. Photography, psychology, and writing made a good combination.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Challenge | Ditantang, Menantang, atau Tertantang?

16 Agustus 2018   12:11 Diperbarui: 16 Agustus 2018   12:25 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di zaman millenium ini, siapa yang tidak mengenal media untuk bersosialisasi lewat dunia maya? Sebut saja, ada Instagram, Facebook, Twitter, Snapchat, dan berbagai platform lain yang menyediakan tempat bagi kita membagikan sedikit kisah kehidupan kepada khalayak luas, termasuk mengetahui apa yang sedang dilakukan orang lain di berbagai belahan dunia secara real-time. 

Jika diurutkan beberapa tahun ke belakang, media sosial bukanlah tempat yang ramai dan cenderung dinikmati oleh kalangan tertentu terutama remaja tanggung, namun portal media sosial hari ini menjadi sangat riuh dengan penyebaran informasi yang cepat tanpa batas. 

Konten yang diposting pun memiliki banyak ragam, mulai dari topik tentang teknologi, humaniora, edukasi, gaya hidup, dunia hiburan, politik, bahkan tak jarang bermunculan tema yang memancing kontroversi di kalangan warganet (netizen) seperti isu SARA yang digoreng sedemikian rupa oleh beberapa oknum tidak bertanggung jawab. Termasuk kehadiran 'challenges' atau tantangan yang marak dilakukan oleh para millenials merupakan buah dari kesuksesan media sosial menginvasi kehidupan kita di dunia nyata.

Tantangan menelan sesendok penuh bubuk kayumanis atau 'Cinnamon Challenge' yang merebak di tahun 2012 menjadi umpan bagi tantangan-tantangan serupa (1), bahkan tingkat kesulitannya lebih ekstrem dan berbahaya, untuk muncul ke permukaan dengan ide-ide yang lebih gila bagi para penikmatinya, seperti Hot Pepper Challenge, Salt and Ice Challenge, Kylie Jenner Challenge (2), Blue Whale Challenge, Hot Water Challenge, Tide Pod Challenge dan yang baru-baru ini viral di media sosial yakni KiKi Challenge.

Tidak sedikit nyawa yang hilang dikarenakan tren tantangan di atas, seperti kasus tantangan menyiramkan air panas pada orang lain atau prank air panas yang merenggut nyawa seorang bocah laki-laki berusia 14 tahun pada Agustus 2017 di Arkansas, Amerika Serikat3. Sedangkan seorang remaja 18 tahun di Iowa, Amerika Serikat, dilarikan ke unit perawatan intensif setelah melakukan tantangan KiKi yang memviralkan sepenggal lirik "Kiki, do you love me? Are you riding? Say you'll never ever leave from beside me" dari lagu  In My Feelings karya penyanyi Drake sembari berjalan mengikuti mobil yang melaju pelan (4). 

Meskipun tantangan yang beredar di media sosial sebagian besar bersifat negatif, namun ada juga challenge positif dan tidak berbahaya seperti ALS Ice Bucket Challenge dimana partisipan diguyur atau menyiram diri sendiri dengan air dan bongkahan es batu sebagai dukungan kepada pasien ALS, atau Mannequin Challenge yang mengharuskan pesertanya diam di tempat dengan pose tertentu seperti boneka pajangan di toko selagi kamera menyorotnya.

Selagi kita menikmati menonton video tantangan di sosial media, Provoco memberikan sepuluh alasan mengapa tantangan viral sangat menarik untuk diikuti, alasannya adalah (5):

  1. Kita merasa menjadi bagian dari sesuatu yang besar jika mengikuti tantangan, dan bisa mentertawakan peserta lain dengan jokes yang hanya dimengerti oleh para peserta tantangan;
  2. Sadarkah bahwa video tantangan sangat mudah disebarkan dan dibagikan ke teman-teman lewat bermacam-macam sarana media sosial?;
  3. Tak jarang video tantangan dikemas dalam bentuk komedi, dimana seseorang melakukan sesuatu yang lucu dan kita menjadi tertarik untuk mengikutinya dengan model yang sama atau bahkan lebih lucu lagi;
  4. Menjawab pertanyaan yang kita tidak tahu. Terkadang video tantangan viral melibatkan eksperimen sederhana -- nama tantangan itu sendiri adalah sebuah pertanyaan yang kita sangat ingin tahu asal usul dibaliknya;
  5. Untuk sebagian peserta, tantangan yang mereka lakukan menyentuh emosi mereka, seperti peserta  ALS Ice Bucket Challenge yang bersimpatik terhadap pasien Lou Gehrig, dan cara mereka mengekspresikan emosi yang dirasakan adalah dengan membagikan video reaksi keterlibatan tantangan kepada teman-teman atau lingkaran terdekat mereka;
  6. Tidak hanya sekedar tantangan untuk lucu-lucuan, tetapi video tantangan juga membawa misi penting untuk menyebarkan pengetahuan pada suatu obyek penting, contohnya tantangan  #NoMakeUpSelfie untuk menggalang dana bagi penelitian kanker;
  7. Durasi video tantangan yang singkat membuat tantangan mudah sekali menyebar; semakin panjang sebuah video, semakin sulit untuk menjadi viral;
  8. Terkadang sebuah tantangan membangkitkan opini kita tentang bagaimana tantangan tersebut berdampak ke lingkungan sosial, yang secara tidak langsung berkontribusi pada viralitas video tantangan;
  9. Figur publik seperti selebritis adalah influencer yang sangat efektif dalam menyebarkan tantangan kepada audiensnya. Kita cenderung lebih tertarik untuk melakukan hal serupa jika ada figur publik yang melakukan tantangan.
  10. Dengan berpartisipasi pada sebuah tantangan, kita merasa dapat melakukan sesuatu dan membuktikan bahwa kita kuat, mampu, dan berani menyelesaikan sebuah tantangan yang sulit.

Pendek kata, saat kita mengikuti sebuah tantangan, sebetulnya kita hanya ingin menunjukkan pada dunia untuk mendapatkan 'pengakuan' dari orang lain dan melalui video reaksi tantangan yang diunggah ke media sosial, kita bisa menarik banyak perhatian dan pengakuan dalam satu waktu. Fenomena ini sangat dekat dengan definisi Spotlight Effect pada dunia psikologis, yakni ketika orang berpikir penampilan dirinya lebih diperhatikan oleh orang lain (Gilovich, et al.: 2001)(6).

Sebelum menjelaskan tentang Spotlight Effect, ada baiknya kita mengenal istilah socially phobic individuals atau individu-individu dengan fobia sosial yang takut akan evaluasi negatif dari orang lain pada situasi sosial (Clark, 2001; Clark dan Wells, 1995; Rapee dan Heimberg, 1997; Turk, Lerner, Heimberg, dan Rapee, 2001 dalam Brown dan Stopa, 2006). 

Individu yang memiliki fobia sosial ini, ketika ia dihadapkan pada situasi sosial yang tidak mengenakkan, mereka akan mengalihkan perhatian kepada monitoring yang mendetail pada diri mereka sendiri. Menurut Clark dan Wells (1995) dalam Brown dan Stopa (2006), atensi yang berfokus pada diri sendiri (self-focused attention) digunakan individu untuk menduga-duga bagaimana orang lain melihat dirinya dan menilai bagaimana orang lain menilai mereka, dan menyebutnya sebagai "memproses diri sebagai obyek sosial". 

Kecemasan sosial (social anxiety), penilaian diri sendiri yang negatif (negative self-judgement), dan rendahnya performa sosial teryata berhubungan erat dengan self-focused attention (Woody, Chambless & Glass, 1997; Woody, 1996 dalam Brown dan Stopa, 2006).  Tumbuhnya kekhawatiran dalam diri manusia disebabkan oleh standar tinggi yang sulit dicapai, sehingga banyak waktu dihabiskan untuk khawatir kalau-kalau usaha untuk menghubungkan diri dan meninggalkan kesan positif bagi orang lain gagal total (Clark dan Wells, 1995 dalam Brown dan Stopa, 2006).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun