Sebagai sebuah unsur kekuatan politik warisan masa lalu, Partai Golkar kini mengalami sebuah pertaruhan besar di masa depan. Polemik kasus korupsi E-KTP yang menimpa Setya Novanto pemimpin partai sekaligus Ketua Lembaga Tinggi Negara, menjadi sebuah indikasi baru politik internal partai dan konstelasi nasional. Sebagai Partai politik yang sudah makan asam dan garam dalam situasi perpolitikan, Golkar menghadapi tantangan yang pelik karena akar rumput sedang terombang ambing dengan tergerusnya Partai Golkar dampak dari Kasus yang menimpa Ketua Umumnya.
Faksi-faksi besar sedang bergerilya untuk mendorong Munaslub yaitu Jusuf Kalla, Akbar Tanjung dan Aburizal Bakrie. Ketiganya sedang menyiapkan personal yang siap menggantikan posisi SN agar bisa bersinergi dengan pemerintahan. Nama-nama sudah mulai dipasang antara lain Airlangga Hartato, Idrus Marham, Indra Bambang Utoyo serta Titiek Suharto yang siap menggantikan Ketua Umum Partai Golkar. Munaslub menjadi langkah penentu kepemimpinan Partai Golkar selanjutnya, Â sebab partai berlambang pohon beringin tersebut harus segera mempersiapkan diri menghadapi Pilkada serentak pada 2018 dan Pemilihan Anggota Legislatif sekaligus Pemilihan Presiden Wakil Presiden pada 2019.
Langkah Presiden Jokowi menuju 2019 juga sudah diikrarkan oleh Partai Golkar dan mulai dipertegas oleh pernyataan tokoh-tokoh golkar untuk dukungan, sebab pengaruh golkar dalam pemerintahan saat ini juga tetap ada dan salah satunya wakil presiden Jusuf Kalla. Sebagai mantan Ketua Umum Partai Golkar, Jusuf Kalla harus tetap menjaga gerbong strategisnya di internal Partai Golkar. Kepiawaian Jusuf Kalla tidak diragukan, bahkan sudah teruji saat menjadi Wakil Presiden SBY, dimana JK berhasil menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Sebenarnya Jusuf Kalla bisa menjadi plt ketua umum Golkar sampai menuju pergantian Ketua Umum defenitif dan menjaga hubungan Partai Golkar dengan pemerintah disebabkan JK juga menjadi wakil presiden dari Presiden Jokowi.