Manusia untuk agama atau agama untuk manusia? Pertanyaan ini bukan "barang" baru. Sudah lama pemikir dan umat beragama merenungkannya.Â
Jawaban atas pertanyaan tersebut beragam, baik dalam ranah pemikiran maupun tindakan.
Yang memahami "manusia untuk agama" berpikir bahwa agama adalah tujuan. Itu sebabnya, manusia harus dimasukkan ke dalam agama.Â
Melalui mitos/ajaran, ritus dan etika, agama membangun pengaruh dan makna hidup bagi manusia. Di luar ajaran, ritus, dan etika yang digariskan agama, manusia seolah kehilangan arti dan makna hidupnya.Â
Di masa lalu, gereja pernah menggariskan satu ajaran yang begitu hegemonik: Di luar gereja tidak ada keselamatan. "Ekstra eklesia nula salus."
Awalnya, doktrin tersebut terarah pada kelompok Kristen lain yang berbeda dari Kristen versi penguasa. Namun, seiring berjalannya waktu, doktrin itu kerap pula dialamatkan pada kelompok lain, yang berbeda agama dan keyakinan dari agama Kristen.Â
Sebenarnya, pandangan yang demikian ada di banyak kelompok agama lain. Masing-masing mengklaim diri sebagai yang paling benar.Â
Supaya menjadi benar, bisa memperoleh hidup kekal, maka orang lain mesti masuk ke dalam kelompok agamanya. Orang lain yang berbeda keyakinan mesti memercayai doktrin, melakukan ritual, dan etika sebagaimana yang ditentukan kelompok agama tersebut.Â
Karena itulah kelompok-kelompok agama berlomba melakukan ekspansi. Misi atau dakwah agama kemudian dipahami sebagai taktik memenangi jiwa-jiwa. Tanda bahwa jiwa seseorang sudah dimenangkan adalah dengan masuk dan menjadi bagian dari kelompok agama tertentu.Â
Pemahaman "manusia untuk agama" ini mengandung problem serius. Bukan hanya terkait dengan relasi antar agama, tetapi juga intra agama.Â
Pemikiran keagamaan yang demikian membuat satu kelompok agama menganggap kelompok yang lain kafir, orang-orang kegelapan, atau calon penghuni neraka. Inilah yang membuat mereka tidak toleran terhadap kelompok agama lain.Â