Pasar Paseban begitu sepi sehari sebelum Ramadhan tiba, seperti juga beberapa bulan belakangan ini, setelah pandemi merajalela. Tidak terlihat ada aktivitas seperti dulu. Yang ada hanyalah tatapan lesu yang terlihat dari balik masker yang kumal.Â
"Yah, jelas dagangan kita nyaris ga ada pembelinya, Mas," jawab Guntur sambil menyiapkan masakan untuk siang itu di warungnya. Tubuhnya terlihat kurus dan legam.Â
Teh panas yang dia seduh mungkin satu-satunya pesanan dari saya yang dia dapatkan siang ini. Di tengah rintik hujan, satu-satunya obat yang bisa kita dapatkan tentu minuman hangat. Udara lembab dengan sengatan matahari membuat nafsu makan saya hilang seketika.Â
"Warung ini udah sekitar 30 tahunan kali ya. Dimulai oleh mertua saya. Itu orangnya," katanya sambil menunjuk sosok yang sudah tua di ujung warung. Beliau mengangguk, tersenyum ke arah kami.Â
"Dulu mulainya ya dengan pinjam sana-sini. Seberapa ada saja dulu jadi warung mi instan. Pelan-pelan kita tambahkan minuman, nasi ulam, lauk, dan jadi seperti sekarang. Nah itu istri saya, Nia datang, baru balik dari belanja," tunjuknya kepada sosok kurus yang baru saja datang. Tanpa banyak komentar Nia langsung melanjutkan masakan suaminya.Â
Bau harum tempe yang digoreng menyeruak. Tapi tak kunjung jua menarik orang-orang di sekitar untuk makan.Â
"Pernah melahirkan sekali mas, tapi meninggal. Sakit.."Jawab Nia murung saat saya tanya apakah mereka sudah memiliki anak. "Sehari-hari kita tinggal di kosan kecil. Kalau sudah waktunya kerja ya di sini. Kalau perlu tidur di sana," katanya sambil menunjuk sebuah balai sempit dengan kasur yang terlihat  kotor.Â
Bukannya tak ingin berkembang, namun Guntur mengakui ia tak berani mengajukan bantuan modal ke bank. "Ga tahu caranya, hehe. Nanti cape-cape ngajuin, ditolak. Sama aja boong," sahutnya sambil terkekeh panjang. Deretan giginya yang putih dan rapi terlihat jelas.Â
Namun ia bukannya tak memiliki mimpi itu. Andai saja pihak pemerintah atau bank mau jemput bola mendatangi dengan bantuan dan bimbingan agar bisnisnya bisa berkembang, ia mengatakan tentu akan menerimanya dengan senang hati. Apalagi saat saya ceritakan tentang Holding Pembiayaan Ultra Mikro yang sedang dibangun pemerintah.Â
"Ya maulah mas kalau ada pembinaannya. Modal untuk bikin warung yang lebih layak pun saya pasti setuju," jawabnya.Â
Soal tanggung jawab, tentu ia siap mengelola modal tersebut dengan hati-hati. Pinjaman kepada orang-orang sekitar yang dulu mereka dapat pun sudah terbayar dengan kerja keras. Namun memang nasib belum terlihat memihak mereka sehingga hanya bisa memiliki warung kecil di pojokan Pasar Paseban.Â
Menjelang siang, rintik hujan akhirnya berhenti, dan entah kenapa panas matahari tidak terlalu menyengat lagi. Saya keluarkan beberapa lembar uang lusuh untuk membayar teh panas tadi.Â
Saya jadi terenyuh. Ada banyak sekali warung-warung seperti ini di setiap sudut kota Jakarta. Â Mereka tentunya ingin memperbaiki kehidupannya jadi lebih baik, punya usaha yang lebih rapi dan bersih, disenangi pembeli, dan perputaran uangnya cukup untuk menunjang hidup sehari-hari.Â
Saya yakin, bila semua pihak yang terlibat mau bekerja sama dengan segala kelebihan dan kekurangannya, kita semua bisa bekerja sama mengatasi pandemi yang menyiksa ini, seperti juga menyiksanya gerimis nan terik di siang hari ini.Â