Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Kendari, Melting Potnya Kuliner Timur Indonesia

17 Oktober 2019   20:17 Diperbarui: 17 Oktober 2019   22:01 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiuh, kok jadi serba mahal begini, ya. Akhirnya saya membatalkan beli piong walau tergoda ingin tahu rasanya.

piong ketan. dokpri
piong ketan. dokpri
Bus kembali berjalan menembus kabut. Saya cek Google Map, walaupun sinyal nyaris tidak ada, daerah ini namanya Palopo. Walaupun cukup terkenal, ternyata banyak sudut Palopo masih belum mendapat akses telepon selular, jangankan internet. 

Di kiri kanan saya lihat rumah-rumah masih seperti gubuk, dengan dinding kayu dan atap seng, terkadang rumbia. Seringkali jalanan rusak dan sepi sekali, hanya satu atau dua mobil berpapasan setiap jamnya. Mirip kondisi dulu saat saya mencoba jalur Takengon-Kutacane.

dokpri
dokpri
Kasihan juga ya? Saya jadi bisa maklum mengapa di sini dagangan menjadi mahal.

Di sekitar Malili, saya menyaksikan sunset yang sebenarnya cukup indah. Sayangnya di sini infrastruktur belum terbangun dengan baik. Hanya sekilas saya lihat pemandangannya, karena nyaris semuanya tertutup pohon. 

Padahal ini bagian teluk dengan bagian tengahnya tepat menghadap barat. Alangkah bagusnya dibangun wisata pantai.

DOKPRI
DOKPRI
Beberapa kali jalan rusak dan bahkan sampai bus harus dua kali ganti ban, membuat perjalanan jadi lebih lama dari seharusnya. Menjelang Malili, udara sudah mulai panas, sehingga tidak adanya AC di bus ini mulai menyiksa. Apalagi saat berhenti pintu dan jendela terpaksa dibuka, nyamuk dari hutan pun menyerang dengan ganas.

"Plak! Plak! Plak!" Penumpang mulai menggerutu dan anak-anak menangis. Kaki saya gatal sekali, tapi untuk membungkuk menggaruknya, rasanya malas. Ya sudah obatnya hanya tidur saja. Kondisi yang menyulitkan saat di kiri kanan ada kotak ayam dan anjing yang juga berisik.

Duh..

Untungnya Tuhan masih sayang. Saya kembali diantar ke alam tidur yang pulas, tanpa mimpi. Hingga akhirnya waktu makan malam berikutnya, di Desa Majapahit, sebelum Lanipa. 

Lagi-lagi di sini saya merasa berat dan mahal sekali makannya. Sepiring nasi, dangkot ayam, dan kuah mi instan yang sedikit sekali mie nya, harus ditebus dengan harga Rp 30 ribu. Tapi lagi-lagi tidak ada pilihan lain karena tidak ada rumah makan lain di sekitarnya. Fanta pun Rp 10 ribu sebotol kecil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun