Fiuh, kok jadi serba mahal begini, ya. Akhirnya saya membatalkan beli piong walau tergoda ingin tahu rasanya.
Di kiri kanan saya lihat rumah-rumah masih seperti gubuk, dengan dinding kayu dan atap seng, terkadang rumbia. Seringkali jalanan rusak dan sepi sekali, hanya satu atau dua mobil berpapasan setiap jamnya. Mirip kondisi dulu saat saya mencoba jalur Takengon-Kutacane.
Di sekitar Malili, saya menyaksikan sunset yang sebenarnya cukup indah. Sayangnya di sini infrastruktur belum terbangun dengan baik. Hanya sekilas saya lihat pemandangannya, karena nyaris semuanya tertutup pohon.Â
Padahal ini bagian teluk dengan bagian tengahnya tepat menghadap barat. Alangkah bagusnya dibangun wisata pantai.
"Plak! Plak! Plak!" Penumpang mulai menggerutu dan anak-anak menangis. Kaki saya gatal sekali, tapi untuk membungkuk menggaruknya, rasanya malas. Ya sudah obatnya hanya tidur saja. Kondisi yang menyulitkan saat di kiri kanan ada kotak ayam dan anjing yang juga berisik.
Duh..
Untungnya Tuhan masih sayang. Saya kembali diantar ke alam tidur yang pulas, tanpa mimpi. Hingga akhirnya waktu makan malam berikutnya, di Desa Majapahit, sebelum Lanipa.Â
Lagi-lagi di sini saya merasa berat dan mahal sekali makannya. Sepiring nasi, dangkot ayam, dan kuah mi instan yang sedikit sekali mie nya, harus ditebus dengan harga Rp 30 ribu. Tapi lagi-lagi tidak ada pilihan lain karena tidak ada rumah makan lain di sekitarnya. Fanta pun Rp 10 ribu sebotol kecil.