Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Budiman Vs Dandhy, #DebatKeren yang Harusnya Dijaga Tetap Keren

22 September 2019   22:19 Diperbarui: 24 September 2019   22:46 6053
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
#DebatKeren Budiman Sudjatmiko vs Dandhy Laksono | Ilustrasi: Tangkapan layar channel Youtube Alinea TV

Budiman Sudjatmiko mengakui memang dalam penentuan pendapat dulu, dikritik bahwa belum digunakan sistem one man one vote. Ia berargumen bahwa sampai saat ini pun, dalam Pemilu Papua belum bisa membuktikan secara keseluruhan sanggup mempraktikkan one man one vote.

Saya merasa, tampaknya ini merujuk kepada kenyataan masih digunakannya sistem noken dalam Pemilu di beberapa tempat di Papua.

Pernyataan cukup kontroversial dari Budiman Sudjatmiko adalah ia tidak bisa menyetujui pernyataan "NKRI Harga Mati!" Yang langsung disambar oleh Dandhy, "Lalu tadi maksudnya tidak menyetujui referendum apa?"

Pertanyaan ini langsung dijawab bahwa Budiman lebih menyetujui kalau NKRI dianggap sebagai sebuah "Modal awal yang mutlak dan perlu". Ia kemudian menjelaskan bahwa dengan pengertian ini, maka akan sulit untuk kembali lagi ke titik nol, menegosiasikan kembali bagaimana membangun bangsa dari awal, padahal ini sudah disepakati 70an tahun yang lalu. Ini akan membuang-buang energi yang sangat besar.

Dengan konsep NKRI sebagai modal awal yang mutlak dan perlu, maka bangsa kesatuan menjadi titik awal perjuangan, bukan tujuan akhir yang sama sekali tidak boleh diubah. Ini memungkinkan bahwa di masa depan mungkin saja definisi dan konsep negara bangsa bisa dikembangkan sesuai tuntutan zaman.

Jadi mungkin saja nantinya ada persekutuan lain di laur negara-bangsa, walaupun saat ini belum dimungkinkan dan belum bisa dibayangkan manusia pada masa kini.

Berbeda dengan Dandhy Laksono, Budiman Sudjatmiko lebih luas menarik persoalaan kebangsaan ini kepada persoalan dunia internasional, tidak hanya fokus kepada sejarah Papua. Untuk bisa memperjuangkan suatu perubahan hingga saat ini, manusia membutuhkan perkakas, mulai dari mesin, kereta api, komputer, hingga handphone.

Maka dengan memaksakan referendum, konsep one man one vote, dan selanjutnya kemerdekaan, sementara belum ada kesiapan instrumen, dan pranata untuk menyambutnya, maka yang dihasilkan malah fenomena mati muda.

Dalam arti konsep Negara-Bangsa Papua malah menghasilkan kehancuran bagi orang Papua itu sendiri, atau setidaknya stunting, tumbuh dengan kerdil. Dan dalam kondisi terburuk, yang dihasilkan adalah kehancuran.

Dandhy Laksono kemudian menyerang kembali secara personal bahwa ia membiarkan Budiman Sudjatmiko melantur secara tidak relevan. Ia juga menggunakan kembali imajinasi fiksi, bahwa Soekarno menganggap nusantara sebagai tanah kosong. Soekarno dianggap Paman Gepetto mengendalikan Pinokio. Bahkan lebih jauh menuduh adanya pengaruh Messiah Complex.

Saya kembali tidak bisa memahami jika Presiden Pertama kita mengalami messiah complex, karena definisi messiah complex yang saya temukan bukan hanya perasaan menjadi superior dan orang lain harus tunduk. Messiah complex terjadi atas problem religiusitas, yang setahu saya Soekarno bukanlah tipe manusia yang sefanatik itu dalam beragama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun