Ada satu atau dua yang saya temukan, namun dari kejauhan sudah terlihat tidak ada satupun orang. Terakhir kali saya kemudian menemukan rumah makan minang pun tutup. Saya coba tanya kepada warga yang ada di pinggir jalan sambil duduk-duduk. "Di mana ya bu, kalau saya cari ikan arsik yang enak?"
Si Ibu tertawa, "Ya di BPK lah!" Â Ia terkekeh.
Ya sudah, saya kembali ke misi awal menemukan ikan arsik. Maka masuklah saya ke sebuah Rumah Makan Babi Panggang Karo, sambil merekam live. Tentu saja protes berdatangan dari keluarga saya. Namun saya memperhatikan bahwa beberapa petani muslim di sini pun, ditandai oleh kupiah putih di kepalanya, ada yang dengan santai ikut memesan makanan halal, dalam bentuk ikan arsik. Mereka makan bersama anak-anaknya.
"Saya ga makan babi, Bu. Ikan saja," tunjuk saya kepada panci-panci yang tersedia. Dengan cepat semua terhidang, dan tampaknya memang diharuskan ada pelengkap sup. "Jangan dimakan ya supnya, itu pakai lemak babi," katanya memperingatkan. Tampaknya memang mereka berusaha menghormati dan melindungi saat ada pelanggan yang mengakui dirinya muslim dan berpantang daging babi.
Di lain waktu, teman saya menjelaskan, begitulah adat Orang Karo yang komposisi muslim dan kristennya cukup berimbang. Â Mereka saling menghormati iman masing-masing dan menghargai saudaranya yang berpantang babi. "Itu kalau mereka masak di rumah, mengundang makan, maka panci dan kuali tempat masak masakan bagi saudaranya yang muslim dipisah, dan disajikannya pun tidak bertempelan, untuk menghormati,"
Kembali lagi soal makan ikan arsik, setelah keributan yang membuat saya dicaci-maki di media sosial, seolah melarang ada babi di Toba, barulah saya tahu bahwa ikan arsik juga tersedia di beberapa Rumah Makan Minang. Padahal sejak di Sidikalang saya terus-terusan bertanya kepada warga setempat, selalu saja diberikan clue ikan arsik hanya ada di BPK.
Ini semakin meyakinkan saya bahwa ada kendala informasi yang besar mengenai makanan lokal halal di sekitar Toba.
Balik cerita soal perjalanan. Saya akhirnya sampai di Silalahi larut malam. Sambil menunggu pagi, saya tidur di mobil, di tanjakan dan belokan berliku-liku menjelang Silalahi. Mirip kelok 44 kalau di Sumatera Barat. Dan memang seperti cerita Bang Anto, di kanan kiri masih pepohonan rimbun yang asri. Jika tidak memaksakan diri turun, mungkin saya tidak akan tahu matahari terbit di Silalahu begitu indahnya.
Setelah menghabiskan pemandangan fajar di Silalahi, dan membakar sampah lima karung di tepian Danau Toba, saya merasa lapar dan sudah waktunya makan. Saya longok etalasenya, lagi-lagi saya mesti berpuas diri di banyak warung yang tersedia adalah masakan babi.