Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Ingin Bantu Lombok? Berwisatalah di Tengah Bencana

31 Agustus 2018   11:43 Diperbarui: 31 Agustus 2018   11:53 853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lalu dalam sekejap terciptalah pengungsi-pengungsi yang berdaya. Bukibuk yang super strong, jauh lebih strong dari pakbapaknya yang masih melamun mau cari kerja apaan untuk menafkahi keluarga. Tenda di sekitar tenda Bu Murni lalu riuh dengan suara bukibuk yang memotong bawang, sayur, daging dan sebagainya, diiringi teriakan anak-anak mereka yang bermain. Bukibuk memang tak sebesar pakbapak tenaganya, tapi soal keuletan, mereka tiada tandingannya... Pakbapak seperti kita malah lebih loyo.

Nah karena porsi yang dimasak lebih besar, dan daging kambingnya bisa dibilang gratis karena hasil kewajiban menyembelih hewan kurban, maka bukibuk di Santong dapat selisih lebih besar dari bukibuk pengungsi Mataram. Total mereka bisa dapat sekitar 700 ribu. Belum termasuk selisih profit yang mereka dapat dari jual beli bumbu, beras, dan lainnya.

Siapa bukibuk yang ga senang dibuat berdaya, tidak manja menunggui bantuan?

dokpri
dokpri
Terus gimana dengan anak-anaknya? Ada lagi bukibuk penjual mainan kecil di belakang lapangan pengungsi. Ia sedih bukan main karena rumahnya rubuh total. Dasar gigih, di depan rumah ia dirikan warung mainan. Semua sisa mainan tersisa dari rumahnya, ia jual.

Sukses? Sukses sepi.. Siapa juga yang mau membeli mainan, kebutuhan tersier, saat cari makan aja susah? Paling cuma ditowal-towel anak-anak lalu dimarahi orangtuanya karena ga punya duit untuk membeli.

Maka saya beli mainan-mainan murah itu. Harganya cuma Rp 3 ribu-15 ribu per item. Jauh lebih murah ketimbang Pasar Gembrong. Saat saya bilang untuk dibagikan ke anak-anak, ia berikan korting luar biasa besar. Lagi-lagi, ciri khas Pasar Feminim ala Indonesia seperti yang diceritakan Mas Kokok.

Mainan itu dibagikan kepada anak-anak saat bukibuknya sibuk masak, ga sempat mengurus anak. Tentu bukan dibagikan langsung. Mereka harus berkeringat dulu. Maka saya imingkan mainan kecil untuk siapa saja yang mau membantu memilah dan mengumpulkan sampah basah. 

Dalam sekejap anak-anak itu sibuk berlarian keliling tenda. "Ayo mau mainan tidak? Kalau mau, kumpulkan daun. kertas, dan sisa masakan ke kardus sana. Plastik dan botol tidak boleh ikut, pisahkan," saya berteriak berkali-kali sampai mereka paham memisahkan sampah kering dan basah.

Lingkungan pengungsian dibersihkan nakanak, cuma dengan modal sejumput mainan... 

Selesai mengumpulkan sampah dapur dan dedaunan, anak-anak itu disuruh baris di depan keran. Kepada mereka diajarkan untuk selalu cuci tangan dengan sabun setelah memegang sampah. Bukan apa-apa, korban gempa itu banyaknya karena diare dan infeksi, setelah tertimpa reruntuhan. Maka penting mengajarkan anak-anak itu mencuci tangan pakai sabun.

"Enak, Om.. harum!!" kata mereka sambil mencium tangannya, ngantri lagi menunggui mainan jatah mereka. Mengajarkan anak-anak daerah untuk mengerti arti kata antri bukan perkara mudah. Tapi anak-anak mana yang ga mau kalau diimingi mainan? Ogah antri? Ya mainannya ga dapet lah...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun