Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Masjid Jokowi yang Menyesatkan di Sawang, Aceh

9 Juli 2018   07:56 Diperbarui: 9 Juli 2018   08:47 1782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hah? Apoaaah!? Jadi ada masjid pusat aliran sesat di Aceh sekarang? Jokowi bikin masjid menyesatkan? Jokowi bikin rakyat Aceh sesat? Astaghfirullohalazim nauzubillahiminzalik...

Tunggu dulu.. baca dulu kisah saya lengkap sampai habis ya.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Ceritanya menjelang Bireun, hari sudah pagi, saya memutuskan mandi, berganti baju, lalu ngopi di warung di desa sekitar. Sambil mendengarkan obrolan mereka mengenai Piala Dunia semalam, sekilas saya mendengarkan info mengenai Masjid Jokowi, walaupun samar.

Karena mendengar cerita warga setempat soal Masjid Jokowi tersebut, maka jadilah saya penasasran. Saya coba mencari masjid yang dulu katanya runtuh karena gempa di Aceh. Katanya berkat kesigapan Jokowi, bangunan megah tersebut kembali berdiri, bahkan lebih indah, dikerjakan oleh Kementerian PU dan Waskita Karya dalam 2 tahun saja! Karena mengagumkan hasilnya dan cepat kerjanya, masjid itupun oleh beberapa warga Aceh disebut Masjid Jokowi..

Namun saya tidak hendak cerita soal Masjid. Terlalu banyak masjid di Aceh, dan sudah banyak foto-fotonya. Jadi yang saya angkat adalah masakan khas Aceh yang tidak akan ketemu di Provinsi lain: Pliek!

Ceritanya dari 4 nama Masjid At Taqarub di Google Map, sukses mengantarkan saya sesat dan tersesatkan di pedalaman Aceh, mulai dari pegunungan offroad di Sawang, gang tak jelas di Lhokseumawe, sampai kandang kerbau gelap tanpa penerangan yang becek dan membuat mobil saya selip ga bisa jalan di Pidie Jaya.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Yang paling berkesan tentu di Desa Sawang, Aceh. Sebelum masuk ke desa ini, saya harus offroad dulu naik turun bukit terjal, memang menyiksa mobil. Tapi saya bersyukur jadi bisa melihat sendiri pemanfaatan dana gampong (dana desa) menjadi berbagai bentuk pembangunan kecil, sederhana, namun efektif dan nyata manfaatnya bagi warga sekitar. 

Di Lokchut, dusun tetangga, misalnya, dana desa terpakai untuk irigasi, pengecoran jalan masuk, dan lainnya. Ada seorang pasangan Suami Istri di Lok Chut, Sawang, yang bahkan sampai berani menyekolahkan ketiga anaknya jadi dokter karena begitu yakin dengan perubahan nasib baik mereka di masa depan. Contoh lain yang cukup keren menurut saya adalah pendirian ruko-ruko cantik di sekitar tempat wisata. 

Dengan demikian Aceh perlahan berubah dari kesan kumuh dan lusuh. Kemudian desa mendapat pemasukan kembali melalui sewanya yang dipungut hanya Rp 10 ribu sehari. Ringan sekali!

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Balik ke cerita, jadi di Desa Sawang inilah perjumpaan saya dengan masakan khas Aceh, Pliek! Masakan ini saking khas dan eksotisnya, bahkan tak semua orang Aceh yang bisa menikmati.

Apa itu pliek? Saat pertama saya terdampar di Sawang, saya bertanya kepada salah seorang bankir tempat saya menarik uang di ATM. "Saya bukan orang asli sini Bang. tapi di desa ini terkenal karena masakan sayur plieknya." kata si Bankir menjelaskan. "Di mana letaknya?" tanya saya. "Lurus saja ke arah utara, dekat masjid itu banyak rumah makan khas Aceh Utara. Minta saja sayur pliek."

Mendengar penjelasan si Abang, saya langsung ngiler. Karena ga ngerti apa itu Pliek. Saya pikir semacam bumbu belacan atau terasi. Dan kenyataannya memang semacam itu, bumbu fermentasi. Tapi bedanya ini dari kelapa, alias bungkil, kalau orang Jawa bilang.

Dan jangan harapin rasa dan baunya semellow terasi. Pernah cium bau minyak goreng tengik karena tersimpan terlalu lama di lemari dapur sampai dirubungi banyak kecuak? Nah.. mirip seperti itulah bau pliek!

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Tapi tentu saat berwisata kuliner, kita harus menghormati kebiasaan dan makanan tradisi warga sekitar. Tak enak sekalipun, tidak boleh batal menyuap atau muntah. Harus dipaksa masuk mulut dan hap..! Dinikmati saja..

Si Ibu tertawa karena saya nekat makan langsung dalam bentuk ikan pliek. Harusnya untuk pemula adalah sayur dulu karena sayur cenderung asam dan mirip dengan rasa pliek, sementara kalau ikan mujair yang saya makan, juga berbumbu pliek, malah jadi terasa seperti ikan busuk yang tersimpan berhari-hari...

Hahahaha.

Tapi ada yang aneh dari pliek. Memang saat digigit dan dikunyah, ikannya makin lama terasa makin enak, lupakan aroma dan baunya. Ya, pliek baru bisa kita nikmati aromanya yang masam kalau kita bisa mengerti enaknya saat bercampur dengan rasa kuah santan dan ikan yang gurih. 

Maka tak lama saya pun bisa makan pliek layaknya orang yang makan jengkol, baru bisa mengerti setelah beberapa kali makan.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Dan satu lagi keajaiban pliek, terutama yang sayur, adalah ini masakan komunal. Baunya yang menyengat saat dimasak mendidih dengan segera menyeruak dan mengundang tetangga untuk datang dan ikut serta menikmati dengan sesuap nasi. 

Dengan suasana Desa Sawang yang sejuk di kaki bukit, terbayang nikmatnya bercengkrama menikmati hangatnya kuah sayur pliek sambil berbincang-bincang seputar urusan desa dan keluarga. 

Hmmmm... Maka tanpa dikomando, rumah makan yang awalnya hanya menyediakan pliek untuk saya, tiba-tiba ramai dikerumuni warga, terutama yang perempuan.

Saya beruntung bisa menyaksikan proses pembuatan sayur pliek. "Dasarnya sama saja, seperti membuat gulai sayuran," terang Kak Epi dari Rumah Makan Takdir Ilahi, sambil terus mengaduk kuahnya. 

Bedanya, santan dimixer dengan pliek, menghasilkan adonan yang baunya luar biasa. Setelah bumbu-bumbu ditumis hingga harum layaknya gulai, barulah santan bercampur pliek tadi dimasukkan dan diaduk hingga matang. Karena di tengah desa ini tetap sinyal 4G bisa tertangkap kuat, maka teman-teman bisa menyaksikan proses memasaknya di sini LIVE streaming.

"Selain dibuat sayur atau ikan," terang Kak Epi, "Ada lagi cara untuk menikmati pliek."

"Apa itu?" tanya saya penasaran. "Nah cari di pasar Aceh Utara, salak Aceh namanya. Campur pliek sama garam dan cabe. Oleskan ke salak Aceh. Sedaap!"

Muka saya langsung menyeringit. Tentu saja karena seperti orang lain yang belum mengerti kuliner khas Aceh, akan mengira salak Aceh itu benar-benar salak. Padahal yang dimaksud adalah Buah Rumbia yang hanya ada di musim tertentu dan adanya hanya di hutan pedalaman. Buah ini bisa ditemui musiman di pasar di sekitar Bireun hingga Sigli. 

Entah apa enaknya bumbu kelapa busuk dipadukan sama salak, pikir saya waktu itu. Namun setelah tau buah rumbia itu rasanya seperti apa, saya bisa sedikit setuju pliek memang enak dipasangkan dengan Salak Aceh.

Jadi kulner Aceh bukan sekedar Mie Aceh lho ya. Untuk teman-teman tahu, mie Aceh sebenarnya malah banyak diproduksi mi keringnya di Deli Serdang, Sumatera Utara. Dan yang membawa kedai Mie Aceh ke luar provinsi justru banyak perantau Sumatera Utara dibanding Aceh.

Warga Aceh, walaupun juga berjiwa perantau seperti Minang dan Batak, namun kurang begitu telaten menyebarkan budaya kulinernya ke daerah lain. Karena itulah kita sulit sekali mencari resturan dan rumah makan khas Aceh. Ini kebalikan dengan orang Padang, misalnya yang malah sulit ditemukan restorannya di Sumatera Barat sendiri, lebih mudah kita temui di luar Sumatera Barat.

Di akhir ngobrol. Ibu-ibu tetangga sekitar, Kak Epi, serta pemilik rumah makan Takdir Ilahi berteriak histeris melihat kaos #JKWadalahkita dan minta juga. Tentu dengan keramahan luar biasa dan kesediaan mereka mencarikan bumbu pliek hingga ke dalam pasar, maka saya dengan senang hati memberikan.

Lalu bagaimana dengan Masjid Jokowi alias At Taqarub tadi? Setelah saya ikuti Google Map, ternyata mengarahkan saya terus ke pegunungan di selatan Desa Sawang. Jalannya mulai berbatu dan menyempit mirip jalan setapak. Sehingga akhirnya saya putuskan menyerah saja dan cari Masjid At Taqarub lain, karena tak mungkin seorang Presiden meresmikan masjid di tengah gunung terpencil seperti itu hahaha.

Petualangan mencari Masjid ini akan saya buatkan kisah terpisah. Sementara ini, nikmati gulai pliek dulu. Hmmm....

ps: Terima kasih mas Budi Arie Setiadiyang ikut support perjalanan ini dengan membantu support sebuah drone untuk dokumentasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun