Mendengar penjelasan si Abang, saya langsung ngiler. Karena ga ngerti apa itu Pliek. Saya pikir semacam bumbu belacan atau terasi. Dan kenyataannya memang semacam itu, bumbu fermentasi. Tapi bedanya ini dari kelapa, alias bungkil, kalau orang Jawa bilang.
Dan jangan harapin rasa dan baunya semellow terasi. Pernah cium bau minyak goreng tengik karena tersimpan terlalu lama di lemari dapur sampai dirubungi banyak kecuak? Nah.. mirip seperti itulah bau pliek!
Si Ibu tertawa karena saya nekat makan langsung dalam bentuk ikan pliek. Harusnya untuk pemula adalah sayur dulu karena sayur cenderung asam dan mirip dengan rasa pliek, sementara kalau ikan mujair yang saya makan, juga berbumbu pliek, malah jadi terasa seperti ikan busuk yang tersimpan berhari-hari...
Hahahaha.
Tapi ada yang aneh dari pliek. Memang saat digigit dan dikunyah, ikannya makin lama terasa makin enak, lupakan aroma dan baunya. Ya, pliek baru bisa kita nikmati aromanya yang masam kalau kita bisa mengerti enaknya saat bercampur dengan rasa kuah santan dan ikan yang gurih.Â
Maka tak lama saya pun bisa makan pliek layaknya orang yang makan jengkol, baru bisa mengerti setelah beberapa kali makan.
Dengan suasana Desa Sawang yang sejuk di kaki bukit, terbayang nikmatnya bercengkrama menikmati hangatnya kuah sayur pliek sambil berbincang-bincang seputar urusan desa dan keluarga.Â
Hmmmm... Maka tanpa dikomando, rumah makan yang awalnya hanya menyediakan pliek untuk saya, tiba-tiba ramai dikerumuni warga, terutama yang perempuan.
Saya beruntung bisa menyaksikan proses pembuatan sayur pliek. "Dasarnya sama saja, seperti membuat gulai sayuran," terang Kak Epi dari Rumah Makan Takdir Ilahi, sambil terus mengaduk kuahnya.Â