Mohon tunggu...
Harfei Rachman
Harfei Rachman Mohon Tunggu... Freelancer - An Un-educated Flea

Aku, pikiran yang kamu takkan bisa taklukkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menemukan "Ahok Versi Wanita" di Rumah Sakit

16 Desember 2019   10:05 Diperbarui: 16 Desember 2019   10:17 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: idlovepik.com

Siang itu tiba, saya baru saja menginjakkan kaki saya di sebuah Rumah Sakit. Awalnya, saya terbiasa dengan hiruk-pikuk disana. Antrian yang mengular, lalu  muda dan tua saling berdiri menanti antrian tiba di Pendaftaran BPJS. Ya, saya akui Rumah Sakit itu mempunyai sistem yang buruk dan tidak jelas untuk pasien-pasien BPJS.

Terkadang saya bisa daftar di jam satu siang dan baru bisa pulang ketika Adzan Maghrib berkumandang. Melihat kejadian seperti itu terkadang saya merasa kasihan dengan pasien-pasien lansia atau ibu-ibu yang membawa anaknya yang masih balita. Namun siang itu, saya merasa ada yang berbeda pada hari itu. Ada seseorang yang benar-benar menarik perhatian saya. Seorang perawat yang tengah berdiri di tengah kerumunan pasien dan ketika beliau berbicara, logatnya seperti berasal dari daerah Sumatera Utara. Baiklah, sebut saja nama beliau, Inang.

Inang terlihat kewalahan atas membludaknya orang-orang di antrian tersebut. Sambil sedikit berteriak, dia memisahkan antara orang-orang yang memiliki penyakit kronis dan yang hanya kontrol dua minggu/sebulan sekali. Awalnya, saya agak ragu dengan antrian di depan saya, karena beberapa orang di sekitar saya malah membicarakan sebuah "surat sidik jari". Ya, karena hampir semua perawat dan admin rumah sakit tengah sibuk mencari data pasien, saya pun berinisiatif menghampiri wanita tersebut. "Bu, apa saya harus pakai surat  sidik jari seperti beberapa orang tersebut?" 

Lalu Inang meminta kertas saya yang berisi rujukan dari puskesmas untuk ke dokter penyakit dalam. "Oh tidak perlu kalau kamu." sahutnya. Ketika saya kembali, antrian semakin panjang dan mengular, dan sialnya saya harus kembali berbaris di belakang dan mau tak mau kembali mengikuti barisan yang lebih panjang dari yang saya tinggalkan tadi. 

Nah, cerita semakin menarik ketika Inang berjalan ke arah barisan kami. Layaknya seorang Ahok/BTP ketika masih menjabat sebagai Gubernur, wanita ini pun memeriksa satu-per satu pasien yang tengah mengular dan mendengarkan keluh kesah mereka. Pertama, dia menemukan seseorang yang memiliki rujukan yang sudah habis masa berlakunya. Seperti hal-nya Ahok/BTP, wanita yang terkesan agak galak ini memberikan bantuan solusi satu per satu ke pasien lainnya.

"Ibu, ini kertas buramnya tidak bisa difoto-kopi, Ibu silahkan minta kertas buram yang asli lagi sama perawat di bagian tengah." katanya. Terakhir, wanita itu berdiskusi serius dengan seorang bapak-bapak yang saya tidak dengar karena posisinya agak jauh. Wanita itu tiba-tiba mengambil ponselnya dari kantongnya. "Apa benar ibu yang memberikan rujukan ke bapak ini?" suaranya terdengar sedikit agak keras. Setelah percakapan itu selesai, Inang menaruh gawainya kembali dan berbicara ke bapak itu untuk keluar barisan.

Ya, mungkin buat sebagian orang, beliau terkesan kejam dan kasar. Tetapi menurut saya, beliaulah yang paling "normal" ketimbang petugas-petugas lainnya yang mengurus tetek bengek soal BPJS dan terkesan dingin dan sedikit apatis terhadap pasien. Namun hal yang paling menjengkelkan adalah sistem rumah sakit yang ada disana.

Bayangkan, setelah mengurusi urusan BPJS, kita kembali harus mengantri untuk timbang tensi, dan hebatnya RS tersebut hanya memberikan satu  perawat untuk mengurusi tensi darah dan mengukur dengan timbangan sendirian. Setelah proses itu, saya memberikan berkas ke perawat yang berada di ruang tengah dan tibalah waktunya saya duduk menunggu panggilan ke ruangan dokter. Setelah diperiksa dokter, saya harus ke bagian farmasi dan menunggu obat yang lumayan lama dan memakan waktu.

Baiklah kembali ke topik utama, intisari yang saya ambil dari cerita ini adalah saya percaya bahwa diluar sana ada figur-figur seperti BTP, Risma, Ganjar, dan juga Inang yang memang dibutuhkan di tempat-tempat dimana mereka seharusnya menjadi pelayan masyarakat. Seperti di Rumah Sakit, dan ruang-ruang publik lainnya.

Harus dipahami bahwa sikap tegas sangat berbeda dengan galak, terlebih lagi jika ada orang naif yang tidak bisa membedakan antara tegas dan sikap arogansi. Memang terkadang ada saja oknum-oknum yang integritasnya diragukan dan masa bodoh karena pola pikir mereka sudah berkaitan dengan sistem di tempat tersebut. Sedangkan sistem di tempat-tempat seperti Rumah Sakit seharusnya bisa mudah dijangkau dan memberikan pelayanan yang terbaik.

Terakhir, Selamat tanggal 16 Desember!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun