Rumahku dibangun dari batu bata, kayu dan bambu, serta doa-doa bapak ibuku. Mereka tekun berharap kemurahan-Nya agar mewujudkan impian membangun rumah, tempat anak-anak bernaung.
Atapnya dari rerimbunan kedamaian. Dianyam bapak ibu siang malam. Lantainya tersusun dari kepingan-kepingan kebahagiaan. Nampak kokoh, hangat, dan menenteramkan.
Pagi menyingsing, Bapak berangkat menjemput rezeki. Berbagai hasil panen dibawa ke pasar. Ada buah pisang, mangga, terong, dan lain-lain. Diangkut naik sepeda.
Sepeda itu sudah tua, pemberian Mbah Kakung, kata bapak. Ia setia, tak pernah mengeluh, sama seperti Bapak. Hanya peluhnya saja yang mengabarkan kelelahannya. Ibu lekas menyodorkan senyuman dan air minum untuk mengusir dahaga dan lelahnya.
Ibuku sejak dini hari berkutat dengan pekerjaan di rumah. Memasak, cuci baju dan alat masak, serta mengantar anaknya ke sekolah, rutin beliau kerjakan. Ibu tak pandai ilmu hitung dan baca. Ia hanya berharap aku dan adik tekun belajar dan jujur.Â
Pohon pisang depan rumah tumbuh subur. Setiap bulan selalu ada buahnya yang kami panen. Bapak tak lupa mensyukuri karunia-Nya yang dihadirkan melalui pohon pisang.
Di samping kiri rumah ada jalan berbatu yang selalu bikin aku dan adik luka-luka di dengkul setiap kali kami jatuh saat bermain. Jalan itu dibuat oleh bapak dan para tetangga. Dari batu-batu kecil yang ditata rapi lalu diberi pasir di atasnya. Kalau siang menjelang, kadang ada angin yang menerbangkan debu jalan.Â
Langit masih sama seperti waktu aku kecil dulu. Bergumpal-gumpal awan putih jalan beriringan melintasi angkasa. Bentuknya berubah-ubah. Kadang mirip sesosok binatang, kadang seperti tumbuhan. Kami senang memandanginya. Hiburan bagiku dan adikku di teras rumah selepas pulang dari sekolah.
Surabaya, Sabtu 17/12/2022