Mohon tunggu...
Hardius Usman
Hardius Usman Mohon Tunggu... Dosen - Humanitarian Values Seeker in Traveling

Doktor Manajemen Pemasaran dari FEUI. Dosen di Politeknik Statistika STIS. Menulis 17 buku referensi dan 3 novel, serta ratusan tulisan ilmiah populer di koran. Menulis hasil penelitian di jurnal nasional maupun internasional bereputasi. Mempunyai hobby travelling ke berbagai tempat di dunia untuk mencari nilai-nilai kemanusiaan.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Wisata Horor di Phnom Penh

11 Juni 2020   12:34 Diperbarui: 11 Juni 2020   12:34 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memorial Stupa (Sumber: Koleksi Pribadi)

Dalam pergaulan singkat dengan orang-orang Kamboja, khususnya di Phnom Penh, mereka terkesan lebih ramah, jika dibanding Vietnam bahkan Thailand. Kesan itu kami dapatkan dari pegawai hotel, supir tuk-tuk, pedagang makanan, pedagang souvenir, sampai pedagang di pinggir jalan. Walau bahasa Inggris mereka sulit dimengerti, mereka berusaha menggunakan bahasa tubuhnya agar kita paham apa yang dimaksudnya. Seakan-akan mereka tidak ingin kita kehilangan informasi yang perlu kita ketahui. Sebuah rasa bersahabat yang patut dihargai.

Kalau melihat keramahan dan kehangatan yang mereka berikan, kita tidak pernah menyangka bahwa di kota ini pernah terjadi peristiwa yang sangat mengerikan, yaitu pembantaian terhadap anak bangsa oleh bangsanya sendiri. Keramahan dan rasa bersahabat yang ditunjukkan oleh banyak orang, tentu bukan perilaku sesaat yang dibuat-buat, melainkan berakar pada gen mereka, baik secara fisik maupun kultural. Lalu, seberapa perlukah manusia-manusia yang ramah dan bersahabat itu harus dihilangkan haknya untuk hidup?

Politik di Kamboja, sejak dulu memang terasa keras. Sejarah mereka dihiasi oleh perebutan kekuasaan yang berdarah-darah. Makanya, kami terheran-heran setelah mengetahui ternyata orang-orang Kamboja begitu ramah dan bersahabat. Kenapakah masyarakat yang begitu ramah dan bersahabat mempunyai pemimpin-pemimpin politik yang keras? Apakah pemimpin-pemimpin politik tersebut dulunya sebenarnya sama dengan masyarakat umum, tetapi setelah diasah dan diasuh oleh dunia politik, perilaku mereka menjadi berubah? Sebegitu dahsyatkah kekuatan politik itu, sehingga mampu memutar nilai-nilai dan budaya yang hidup dalam diri seseorang?

Pagi ini, begitu membuka pintu hotel, supir tuk-tuk yang kami sewa sudah menunggu dengan senyumnya yang khas. Dia menyapa kami dengan ramah, walau kami sesungguhnya samasekali tidak mengerti apa yang dia katakan. Tuk-tuk pun berjalan dan meliuk-liuk diantara kendaraan-kendaraan lain dengan kecepatan lumayan tinggi. Untuk yang satu ini kelakuannya tak ubahnya bajaj di Jakarta. Tidak hanya melewati jalan besar, tetapi juga jalan-jalan kecil yang belum beraspal. Saat itu, kami betul-betul memasrahkan hidup kami pada supir tuk-tuk, sebab kami tidak tahu samasekali dimana kami berada.

Setelah bertuk-tuk ria lebih dari 45 menit, sampailah kami di Choeung Ek Genocidal Centre, yang merupakan ladang pembantaian orang-orang Kamboja oleh tentara Khmer Merah di bawah pimpinan Pol Pot. Di saat memasuki lokasi, kita akan bertemu dengan 'Memorial Stupa', yang berisi tengkorak dan tulang-belulang, serta pakaian korban pembantaian. Semuanya diletakkan dalam sebuah etalase kaca 17 tingkat. Dari jumlah tengkorak di etalase itu, kita dapat membayangkan betapa mengerikannya pembantaian yang pernah terjadi di sini.

Sebelum berangkat ke Kamboja, tentu kami telah mengetahui sejarah genosida tersebut. Akan tetapi, setelah menatap langsung, kami tetap tertegun dan terdiam menyaksikannya. Kekejaman manusia ternyata jauh lebih mengerikan dibanding binatang terkejam di dunia sekalipun. Hati manusia yang penuh kelembutan kasih ternyata dapat mengeras melebihi batu cadas.

img20181116103309-5ee1c1d2097f3602576f4302.jpg
img20181116103309-5ee1c1d2097f3602576f4302.jpg

Korban Pembantaian (Sumber: Koleksi Pribadi)

Kunjungan kami lanjutkan ke lapangan luas tempat pembantaian terjadi. Di sana kita bisa melihat bagaimana cara mereka memperlakukan para korban hingga membunuhnya. Di beberapa tempat, masih tersisa tulang-tulang yang berserakan.

Ada juga tempat yang diberikan sesajen, karena katanya arwah di tempat itu agak galak. Tapi, tempat yang paling mengerikan adalah sebuah pohon, yang menjadi saksi pembantaian terhadap bayi-bayi tak berdosa. Tak satu pun cerita di tempat ini yang dapat diterima oleh akal sehat. Begitulah ketika manusia melupakan kemanusiaan dalam dirinya.

Perjalanan kami lanjutkan ke Tuol Sleng, sebuah musium yang dulunya merupakan penjara, tempat penyiksaan dan pembantaian. Di sini kita dapat menyaksikan foto-foto korban, alat-alat penyiksaan, dan penjara mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun