Mohon tunggu...
Inamul Haqqi Hasan
Inamul Haqqi Hasan Mohon Tunggu... Desainer - Visual Designer

Inamul Haqqi Hasan, peminat kajian budaya dan seni. IG haqqihasan

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Jancuk: Politik Bahasa Melawan Homogenisasi Kesantunan

26 Februari 2012   16:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   09:02 2282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13302786841530356013

[caption id="attachment_173686" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi/Admin (shutterstock)"][/caption] Bagi para follower @sudjiwotedjo, hampir setiap saat mendengar (membaca di timeline) kata “Jancuk”. Baik yang diucapkan oleh Sudjiwo Tedjo sendiri maupun para followernya yang me-mentionbudayawan yang akrab disapa Mbah Tedjo ini. Sementara ketika ia tampil di Stand Up Comedy Metro Tv, kata “jancuk” yang ia ucapkan tak lulus sensor, ini penanda bahwa kata tersebut masih dianggap tabu atau tidak sopan oleh sebagian besar masyarakat kita. Mungkin juga beberapa pihak merasa risih atau tidak senang pada Sudjiwo Tedjo yang mempromosikan kata Jancuk, paling tidak pada lebih dari 200 ribu followernya. Jancuk dan Masyarakat Jawa Timur Kata Jancuk sendiri berasal dari dialek Suroboyo-an, yang kemudian menyebar ke seluruh Jawa Timur dan hingga kini dikenal sebagai umpatan khas Jawa Timur. Konon, kata jancuk merupakan kepanjangan dari  “jaran ngencuk” yang berarti kuda yang sedang berhubungan seksual. Ada pula yang menyatakan jancuk sebagai modifikasi dari kata “encuk” yang artinya sama dengan “ngencuk”. Seperti kita ketahui, rumus umum umpatan adalah merujuk pada sesuatu yang berhubungan dengan seks atau jenis binatang. Di Jawa terkenal  umpatan “asu” yang berarti anjing, di Barat muncul “fuck” atau “bitch” yang merujuk pada dunia seks. Saat ini, kata jancuk lebih dimaknai dengan sialan, atau ekspresi kekesalan. Namun, ketika kita mencermati sebuah bahasa, kita harus pula mencermati konteks sosiologisnya, inilah yang kemudian melahirkan inter-disiplin ilmu sosiolinguistik. Masyarakat Jawa Timur, mempunyai tipikal terbuka dan ekspresif. Terbuka dalam artian tidak terlalu suka menutup-nutupi  respon diri yang muncul terhadap orang lain. Ini berbeda dari tipikal masyarakat Yogyakarta dan Jawa Tengah yang cenderung mengutamakan situasi kondusif (adem ayem) dengan cara sangat menjaga respon diri. Sifat terbuka tersebut kemudian bertemu dengan sisi estetis ekspresi kebahasaan. Di sinilah kata jancuk eksis, dapat berperan sebagai respon marah, tetapi dapat pula berperan sebagai ekspresi kedekatan. Maka jangan heran jika seseorang berkata pada sahabatnya yang lama tak bertemu dengan “Jancuk, tibake durung matek ta awakmu?!” Kekuasaan Jawa dan Homogenisasi Kesantunan Kekuasaan Jawa adalah istilah yang dimunculkan oleh Fachry Ali dalam bukunya yang berjudul Refleksi Paham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern. Soeharto, dan Orde barunya, mengadopsi sistem keluarga Jawa dalam kekuasaannya, yaitu adanya sosok Bapak (yaitu Soeharto sendiri), keluarga (masyarakat), dan anak (anak-anak muda). Dan tentunya, patriarkhisme yang menempatkan Bapak sebagai sentral terakomodasi di sana. Seperti kita tahu, pada masa orde baru stabilitas dan pembangunan nasional begitu dipuja, dengan penafsiran yang harus sama dengan penguasa. Aria Wiratma Yudhistira, dalam bukunya Dilarang Gondrong! memaparkan bahwa betapa model rambut pun menjadi perhatian pemerintah Orde Baru. Para pemuda pada tahun 70-an yang mengikuti demamhippies sebagai bentuk perlawanan budaya dengan memanjangkan rambut dianggap tidak mencerminkan kepribadian bangsa. Pada tanggal 1 Oktober 1973 di stasiun TVRI Pangkopkamtib Sumitro memberikan pernyataan bahwa rambut gondrong membuat pemuda menjadi acuh tak acuh (Kenang Kelana, Kuasa Atas Mode: Praktik Kekuasaan terhadap Anak Muda). Ironisnya, ketika saat ini berbagai pihak menghujat Orde Baru sebagai rezim yang korup, di sisi lain mereka (sadar atau tidak) masih melanggengkan mental Orde Baru, pengaturan “ketertiban” yang hegemonik yang didominasi kultur Jawa. Maka tak heran ketika Soetan Bhatugana, seorang politisi Partai Demokrat, kerap dianggap tidak santun gara-gara cara bicaranya yang berteriak, padahal jelas dia orang Batak di mana sudah terbiasa dengan cara bicara demikian. Kenapa dia dianggap tidak santun? Karena tidak sesuai kultur Jawa yang terbiasa bicara dengan pelan. Ini membuktikan, apa yang disebut kesantunan saat ini merupakan produk kultur Jawa (Yogya-Jawa Tengah) yang diposisikan sebagai “puncak kebudayaan” dalam istilah Koentjaraningrat. Jancuk sebagai Politik Bahasa Bahasa dan kekuasaan mulai dipertemukan oleh para kaum post-strukturalis. Mereka menolak anggapan bahwa bahasa sekedar sistem lambang yang terdiri dari unit-unit berupa bunyi, morfem, kata, frase, kalimat, hingga menjadi teks. Para post-strukturalis itu menegaskan bahwa bahasa mempunyai relasi yang sangat kuat dengan kekuasaan. Kekuasaan kontemporer dibangun dan dipelihara melalui praktik wacana, yaitu kekuasaan hegemonik yang dibangun melalui kerja “aparat ideologis” dalam istilah Althusser (Mudjia Rahardjo, Bahasa dan Kekuasaan). Dengan demikian, tidak salah jika memanfaatkan bahasa sebagai instrumen counter-hegemony, dalam hal ini hegemoni kesantunan Jawa. Dengan merepetisi kata jancuk, Sudjiwo Tedjo telah melakukan politik bahasa yang hampir tak pernah tersentuh para kritikus penguasa. Intinya sebenarnya sudah diketahui semua orang, bahwa Indonesia bukan hanya Jawa (Yogya-Jawa Tengah). Akan tetapi, tidak banyak yang tersadar betapa proses homogenisasi Indonesia masih terus berjalan di era Reformasi ini, seolah melanjutkan proyek asimilasi Orde Baru. Bahwa setiap kultur mempunyai parameter kesantunan masing-masing, maka tidak seharusnya mengangkat parameter kesantunan salah satu kultur (walaupun itu mayoritas) menjadi “kesantunan nasional”. Akhirnya, tulisan ini tidak hendak menganjurkan pembaca untuk senang mengatakan jancuk. Tulisan ini hanya mengajak pembaca untuk lebih berpikiran terbuka, bahwa kita kadang tertipu dengan apa yang nampak baik dan yang nampak tidak baik. Dan jangan lupa, sangat mungkin ada kepentingan kekuasaan di belakang kemudinya. Apalagi, Indonesia adalah negara multikultur, bangsa yang kompleks, tentu tidak bisa disimplifikasi menjadi hanya satu kultur saja. Artinya, apa yang kita sebut dengan “kebudayaan nasional” itu perlu dipikirkan ulang. Inamul Haqqi Hasan, 26 Februari 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun