Mohon tunggu...
Haqique Achmad
Haqique Achmad Mohon Tunggu... Relawan - Penulis Lepas

Luluh lantak di Dunia Maya, Mencari Arah di Dunia Nyata

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Sungai Deli Itu Sungai Bos, Bukan Tempat Sampah

10 Maret 2015   16:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:51 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14259805101756478293

[caption id="attachment_401906" align="aligncenter" width="518" caption="Menelusuri Sungai Deli ala Save Our Rivers Consortium"][/caption]

Abang fotoin! bang ikut bang! Bang gonceng! Weee,,ada kapal lewat! Awas bang ada jaring! Aduh!

Air adalah kehidupan. Tanpa air, badan akan terasa kering jika bekerja. Bibirpun ikutan mengering tatkala tak setetespun satu ciptaan Tuhan itu masuk membasahi. Lantas, apa yang terjadi jika air yang kita butuhkan itu, tercemar?

Di negeri ini katanya, Air itu dipelihara bahkan dukuasai oleh negara. Itu katanya. Faktanya, sumber air sudekat itu hanya skript di iklan minuman saja. Air untuk minum contohnya, kita sudah tau masing-masing saat ini negara mengakui kekurangan.Air tak hanya digunakan untuk minum, tapi untuk pertanian, hutan, dan semua yang masih berfungsi di negeri ini butuh air. Apa yang dilakukan selama ini? Padahal negeri ini mempunyai curah hujan yang tinggi dan negara ini adalah negara dengan laut yang luas. Karena laut yang luas itu, berjuta tikungan sungai mengelilingi hamparan bumi pertiwi ini. Sudahlah, saat ini jadikan pertanyaan sebagai tujuan untuk berbenah.

Kota Medan, Punya Sungai Deli

Medan, Kota yang katanya kota terbesar ketiga di Indonesia ini punya cerita tersendiri. Permasalahan dan lika-liku hidup setiap hari datang silih berganti. Cuaca panas saat ini mengurungkan sang hujan yang tak mau turun walau kesedihan banyak melanda menghiasi pikiran orang-orang Medan. Tak hanya pikiran, ciptaan Tuhan yang tak berbicara juga sedang dilanda kekeringan. Sungai contohnya.

Di Medan, siapa yang tak tau dengan sungai Deli. Sungai dengan keindahan luar biasanya. Keindahan yang mengeluarkan aroma busuk. Keindahan penglihatan yang diwarnai dengan sampah-sampah ulah manusia tak bermoral. Padahal dulunya punya sejarah besar. Walau banyak orang yang tidak mempedulikannya.

Sungai Deli dulunya merupakan jalur dagang internasional, tepatnya pada zaman Kesultanan Deli. Airnya yang jernih ‘kata orang’ kemudian curah air yang dalam hingga kapal-kapal pedagang bisa masuk untuk melakukan transaksi di Kota Deli. Jika aku mengkhayalkannya, begitu jayanya sungai Deli itu. Aku teringat dengan suasana Venize yang kulihat di televisi dan sekarang kulihat di youtube. Aku teringat dengan sungai di Brussel di Film PKnya Amiir Khan. Aku juga teringat dengan kota Kyoto di film Rurouni Kenshin. Betapa jernihnya dan bersihnya sungai. Perahu-perahu dayung selalu lalu lalang mengangkut manusia.

Dan sekarang, dengan praduga tak bersalah, walau sudah aku ambil hipotesis di setiap tatapanku saat melihat sungai Deli via darat. Kali ini, kesempatan untuk menilai sungai Deli via air, terwujudkan juga. Dan hasilnya...

Perjalanan dari perwujudan Harapan

Minggu, 8 Maret 2015. Perjalanan dimulai dari Taman Edukasi Avros, daerah Polonia. Kak Badriyah, Lugas, Sarah, Amri, Ahary, dan aku hari itu ditemani Bang Azmy dan Bang Hafiz mengarungi sungai via perahu karet bermesin. Hari itu terik. Berjalan dengan sangat berhati-hati. Karena volume air yang rendah membuat mesin tak semulus harapan. Perjalanan menuju Kampung Nelayan mengalami banyak terjal. Terjal itu mengantarkan kami ke negeri rumah di atas air tersebut selama 5 jam. Jalan kami terhenti-henti karena banyak masalah di sungai ini. Apa itu?

Sampah, hufft. Sepertinya sudah menjadi tradisi dan hal yang lumrah. Membuang sampah di sungai. Entah apa pikiran mereka yang sering membuang di sungai yang sejatinya adalah urat dunia. Bayangkan jika urat anda tersumbat sesuatu. Bagaimana perjalanan darah anda? Saya pastikan akan ada rasa kesakitan di bagian tubuh.

Begitu juga dengan sungai Deli. Kesakitan dirasa bagi orang yang sangat membutuhkan sungai ini. Betapa tidak, coba bayangkan. Ketika hujan tinggi dengan curah air yang tinggi menghantam kota Medan. Saya pastikan kota Medan akan digenangi air. Ocehan akan keluar bagi pengendara-pengendara yang mengejar waktu untuk mencari nafkah. Walau banjir dirasakan nikmat bagi bocah-bocah. Ada kolam renang gratis untuk bermain mereka.

Belum lagi rumah-rumah yang ada di pinggiran sungai. Saat sungai Deli menenggelamkan rumah-rumah mereka, baru mereka sadar betapa bahayanya tinggal di pinggiran sungai. Namun, karena beban hidup, mau tak mau harus tetap tinggal walaupun resiko tiap tahun dirasakan.

Sampah yang ada di sungai Deli bermacam rupa. Mulai dari sampah rumah tangga seperti plastik, bungkusan-bungkusan makanan dan minuman, piring-piring, dan lain sebagainya. Kemudian sampah lainnya seperti kayu, bambu, papan, sterofom, pakaian, popok bayi dan lain sebagainya. Tak hanya itu, yang parahnya, tabung televisi, bantal, sampai kasur tergenang di hamparan sungai. Dilihat dari gampangnya membuang sampah, masyarakat menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan akhir.

Tak hanya itu, masalah yang dihadapi adalah pohon bambu dan pohon lainnya yang sudah menjalar dan membesar sehingga melintang di sungai. Kemudian beratnya beban orang yang ada di perahu karet juga menjadi masalah.

Sampah Sudah, Apa Pemandangan Lain?

Sampah memang yang paling menonjol menumpuk di sungai ini. Selain bertubi-tubi, baunya yang menyengat membuat hidung terganggu dan juga warna sungai sebagian berwarna hitam. Sampah juga berserakan di dasar sungai yang dangkal itu sehingga menyangkut di kipas mesin yang melambatkan perjalanan di hari terik itu.

Terus berjalan, terus mendapat pelajaran, terus juga hal baru dalam kehidupan terlihat. Satu per satu kehidupan sungai yang dilihat di televisi, benar-benar ada dan terlihat oleh mata telanjang. Kalau God Bless dalam lagunya mengatakan Huma di atas Bukit, di sungai ada Rumah di bawah Jembatan. Seorang ibu yang sedang menyusui kemudian masuk ke rumahnya yang hanya punya satu pintu terbuat dari kain. Rumahnya beratapkan jembatan dan alasnya? Ntahlah, aku kasian dengan anak mereka yang harus menghirup sampah yang busuk di sekitarnya.

Orang memancing tentu akan terlihat. Benar, banyak yang menghabiskan akhir pekan itu untuk memancing ikan yang hidup di dalam sungai. Ada yang tenang melihat kami lewat, ada yang memaki-maki karena merasa terganggu dengan ombak yang dihasilkan mesin sehingga ikan-ikan disekitar mata kail si pemancing harus beranjak lari terbirit. Tak hanya pancingan, orang yang memasang jaring pun ada di sungai ini. Terlihat ia harus lari dan menjerit memperingati kami karena jalan yang akan kami lalui terpasang jaring ikan. Terpaksa kami harus mendayung dan mengangkat mesin agar jaring tak putus.

Walau di siang hari, anak-anak tak hiraukan teriknya matahari dan terus bermain-main di cokelatnya air sungai yang dilalui sampah-sampah rumah tangga. Mereka berenang, bermain dengan bola, mengapung dengan menggunakan tutup box minuman soda. Ketika melihat perahu kami, mereka sontak mengejar dan berteriak. Abang fotoin! bang ikut bang! Bang gonceng! Weee,,ada kapal lewat! Awas bang ada jaring! Aduh!. Tampak di wajah mereka jauh dari situasi kekhawatiran dampak buruk dari sungai yang kotor. Tak ada kepedulian, hanya bermain dan bermimpi sembari berenang di sungai yang harusnya baik buat bermain mereka.

Anak-anak bermain, berenang tanpa menggunakan sehelai pakaian. Pemandangan tanpa helai lainnya tertampak dan menjadi aktivitas sehari-hari di sepanjang sungai Deli. Mereka orang dewasa yang mandi di pinggir sungai. ada juga yang membuang ‘hajat’ tanpa menghiraukan sekitarnya. Hajat itupun yang mewarnai benda-benda terapng di sepanjang sungai.

Sudah panjang perjalanan, ada satu penampakan lain yang menarik. Perjalanan Avros-Kampung Aur-Kantor Walikota Medan-Brayan-Martubung-Labuhan-Belawan-Kampung Nelayan menjadikan satu pengalaman yang sangat luar biasa. Di sekitar Martubung kalau tidak salah, ada beberapa gubuk kecil buatan tangan manusia yang menghadap sungai. Entah apa niat si pembuat. Tentu tidak mungkin niat si pembuat untuk menjadikan destinasi sungai Deli yang kotor sebagai Scenery pengunjung. Ternyata setelah assessment dan memang sudah tau sebelumnya ketika melewati gubuk-gubuk tersebut, tepat sekali! Gubuk itu adalah tempat kawula muda melampiaskan hasratnya. Dari via darat, mungkin kita tidak nampak, tapi dilihat dari via laut, nampak jelas si pria yang sudah tergeletak dan seorang wanita pasangannya itu senang ada disebelahnya. Langsung mereka terpisah sejenak saat perahu kami lewat.

Hati terus bergetar. Terus bertanya dengan dada berdegup kencang. Sudah lebih dari 4 jam mengarungi sungai. kemudian adrenalin meningkat saat sungai semakin melebar. Mangrove mulai terlihat kiri dan kanan. Kapal-kapal nelayan terparkir sejajar dan para nelayan banyak berlalu lalang. Sudah di ujung hulu sampai juga di lautan Selat Malaka. Hamparan luas lautan dengan ombak kecil menenangkan hati yang tak sabar untuk menepi. Ingin saja aku terjun untuk merasakan lautan Belawan yang sudah 17 tahun tak berkunjung kesana. Dermaga kapal-kapal tanker besar pun bersandar sejajar. Besar sekali. Kali pertama menelusuri lautan dengan perahu karet. Dan sampai juga di Kampung Nelayan. 5 jam perjalanan tidak terasa karena perjalanan yang menyenangkan.

Kampung Nelayan, daerah rumah kayu di atas genangan air. Perahu-perahu hilir mudik bergantian dengan penumpang dan ikan yang dibawa. Lagu-lagu melayu asal negeri jiran terdengar kuat sore itu. Di sebuah pos, dimana terpampang plat muasal pos ini berdiri. Pos berdiri atas pengabdian masyarakat USU. Di pondok itu, kami menyantap masakan ala pesisir. Ikan, Udang, dan makanan yang dijual 2 gadis cantik yang menjajakan makanan dari rumah ke rumah.

Pemerintah Harus Serius

Tidak dipungkiri, apapun masalah di negeri ini, pemerintah harus ikut andil. Bagaimanapun besarnya kerja keras seseorang, tanpa ada pemerintah sebagai yang punya kuasa, takkan bisa masalah 100 persen berhasil.

Seperti sungai Deli yang sudah bisa dikatakan penyakit akut stadium 4 karena kotor akibat sampah dan ketidakpedulian masyarakat sekitar sungai. Apa yang seharusnya dilakukan pemerintah?

Bisa dengan Undang-undang. Sebagaimana kita tau, PP no.35 tahun 1991 yang diterbitkan Presiden Soeharto sejatinya bisa membuat masyarakat mengerti pentingnya sungai. Di peraturan tersebut, sudah dijelaskan larangan mendirikan bangunan ilegal tanpa izin pemerintah, kemudian yang paling fatal adalah membuang sampah. Di peraturan tersebut sudah dicantumkan kata ‘Pidana’ bagi yang melanggar PP tersebut seperti mendirikan bangunan, membuang sampah, dan lainnya. Dan seharusnya, PP ini haruslah dikuatkan dengan Perda. Untuk sungai Deli, Walikota harus membuat komitmen untuk mengembalikan sungai seperti jaman dahulunya, saat masa jaya kesultanan Deli. Mengingat sungai Deli secara luas ada di konstituen Medan.

Namun faktanya, bisa kita lihat sendiri. Sudah berpuluh tahun ada aksi pembiaran dan masa-masa kehancuran sungai. ini menimbulkan banyak pertanyaan. Mengapa ada indikasi pembiaran dari Pemerintah yang sejatinya punya wewenang dalam hal ini? Apakah ketidakpudulian pemerintah menyebabkan sifat masyarakatnya semakin sembrawut? Entahlah, saat ini, memang pergerakan yang bisa menyadarkan.

Save Our Rivers Consortium, Harapan untuk Perubahan Sungai Deli yang Lebih Baik

Pergerakan memang diperlukan untuk menyadarkan orang-orang yang duduk di kursi empuk. Pergerakan adalah jalan terakhir saat penguasa menutup mata dengan sekitar. Pergerakan terjadi saat penguasa tak serta merta melibatkan orang-orang yang peduli untuk ambil alih perubahan.

Save Our Rivers Consortium, forum yang lahir dari keresahan sungai Deli yang semakin hari semakin kelam. Save Our Rivers Consortium adalah kita. Kita yang mau membuat sungai Deli lebih baik.

Save Our Rivers Consortium eksis di Taman Edukasi Avros, Medan. Di tempat inilah semua ide, harapan, tindakan, dan kepedulian menjadi satu demi sungai Deli yang lebih baik. Tampak orang-orang yang punya tekad dan semangat agar mereka dan para penerus mau bersama-sama melindungi sungai Deli dari satu tempat dengan banyak bencana.

Dari sinilah, aku dan kawan-kawan, dari tempat berbeda, dikumpulkan menjadi satu dengan satu visi dan satu tujuan. Senior-senior yang punya semangat dan perjuangan membuat kami punya harapan untuk bersama mereka berjuang dengan kemampuan masing-masing.

Dari sinilah, kami diberi kesempatan melihat, mengamati, dan menulis bagaimana kehidupan di sungai yang akan kita selamatkan ini. Mereka membuat kami ingin belajar lebih banyak lagi dan bersama-sama belajar bagaimana nantinya kita selamatkan sungai ini.

Nantikan dan Hadirilah!!! Sungai Deli Festival 2015 di Taman Edukasi Avros Medan. 24-26 April 2015. Ayo Selamatkan Sungai Deli!!!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun