Belum lama ini, aku membaca tentang Dampak Fatherless di Kompasiana tulisan Noer Ashari. Usai membaca tulisan itu ternyata beberapa dari sifat-sifat yang aku miliki itu, ternyata akibat kehilangan sosok ayah.
Ayah, aku yakin dia menyayangiku. Diam-diam, beliau sering menanyakan kabarku dan memperhatikanku. Beliau membanggakanku dihadapan teman-temannya tanpa sepengetahuanku. Beliau membawakan aku buku-buku dari buku pelajaran, cerita, hingga koran karena mengetahui aku suka membaca. Beliau membawakanku bunga karena aku suka menanam bunga.
Dulu, aku tidak tahu harus membenci apa menyayanginya. Beliau terlalu sibuk bekerja. Seringkali kami bertemu hanya saat pagi hari saat hendak sekolah. Saat di rumah pun, beliau selalu menyuruh belajar dan ke masjid. Tidak aktivitas selain itu jika ayah di rumah seperti bermain dan menonton televisi. Tak ada komunikasi layaknya ayah dan anak antara kami. Bagiku, beliau hanyalah ayah galak karena kebetulan nada suaranya juga tinggi.
Saat ayah pensiun, aku sudah menikah. Jadi, aku benar-benar tidak ada waktu dengannya. Sekarang, aku sudah memilih berdamai dengan ayahku. Walaupun "konfrontasi" itu sebenarnya tidak ada yang benar-benar terjadi. Luka itu hanya ada di batin. Akhir-akhir ini aku baru tahu jika itu disebut dengan istilah luka asuh. Tetapi sekarang Alhamdulillah luka asuh itu telah sembuh dengan ikhlas dan memaafkan segala yang pernah terjadi.
Bukan bermaksud menyalahkan ayah tetapi kehilangan sosok ayah itulah yang diantaranya membuat aku tumbuh dengan karakterku saat ini. Aku terbiasa mandiri, aku tidak biasa curhat, aku selalu optimis, bisa melakukannya segala sendiri, dan aku selalu berpikir positif.
Di sisi lain, sesuai yang aku baca dari artikel di atas, anak yang tumbuh tanpa figur ayah cenderung memiliki kecemasan tinggi, sulit percaya kepada orang lain, dan mengalami ketidakstabilan emosi. Ya, aku pun begitu.
Hingga sampailah aku pada fase "short cut" atau terbiasa jalan pintas. Aku tidak mau proses. Aku mau hasil instan. Karakter "short cut" itulah yang akhirnya meruntuhkan kesombonganku. Aku terjerembab jatuh ke dalam lubang yang sangat dalam yang ironisnya aku buat sendiri.
(Saat aku sadar, karakter "short cut" juga lah yang membuat aku awalnya tidak suka memasak. Aku benci prosesnya yang ribet dan lama, sampai akhirnya aku mengubah perspektifku jika memasak adalah seni. Ini sudah aku tulis juga di Diari Ramadan kompasiana pada tema ngabuburit berfaedah. Memasak Adalah Seni Ngabuburit).
Karena terbiasa berpikir positif tidak menyisakan ruang untuk hal negatif yang mungkin terjadi maka begitu gagal aku "hancur". Nah, parahnya lagi, meskipun sedang hancur, sedang stres aku tidak menyadarinya dengan benar.Â
Dengan kata lain, aku memanipulasi diriku sendiri, bahwa aku baik-baik saja meskipun sebenarnya tanda-tanda tidak baik-baik saja itu aku rasakan. Karena itu, aku tidak bisa sesegera mungkin "move on" dari kegagalan.