Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Islam dan Kebudayaan Nusantara

5 Agustus 2012   18:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:13 3637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Islam sebagai agama sangat mengakomodasi kebudayaan. Bahkan darinya muncul darinya istilah “kebudayaan Islam”. Apa yang membuat kebudayaan Islam menjadi sangat unik untuk ditelaah? Pertama, kebudayaan Islam menjadi sangat unik karena adalah akulturasi antara agama dan budaya lokal yang memunculkan corak kebudayaan yang unik sekali. Kedua, Islam secara doctrinal sangat memungkinkan kebudayaan masuk wilayah agama dan begitu pula agama sangat menghargai kebudayaan lokal. Corak-corak budaya lokal yang diakomodasi Islam hampir tidak ada duanya di dunia,

Islam tidak datang untuk membumihanguskan kebudayaan lokal. Sebagai agama Islam sangat menghargai harkat dan martabat kemanusiaan. Dalam sejarah perjalanannya Islam menghargai keutuhan diri manusia sebagai makhluk yang berbudaya. Bahkan para penyebar agama Islam selalu menyelipkan simbol-simbol budaya dalam aktivitas dakwahnya. Walaupun kadang ada nilai-nilai budaya yang bertentangan dengan agama, namun konflik antara agama dan budaya tidak berlangsung lama. Biasanya ada mediasi di antara keduanya. Dan yang harus diingat kebudayaan Islam tidak identik hanya dengan budaya Arab melainkan juga dengan kebudayaan lain seperti Persia, Urdu, Hindi, China, dan Melayu. Dalam proses akulturasinya Islam dan kebudayaan-kebudayaan lain mencitrakan kebudayaan multicultural. Dalam hal ini, Islam tidak datang sebagai antitesis budaya yang berkembang di masyarakat. Islam hanya memberikan arahan dan pedoman dalam hubungannya antara Sang Khalik dengan makhluk.

Kebudayaan Islam dapat ditemukan landasannya secara doktrinal maupun secara kebudayaan. Secara doktrin Islam berasaskan Tauhid. Tauhid merupakan ajaran yang tidak bisa dikompromikan. Tauhid ini harus meresap dalam setiap aktivitas kehidupan. Para penyebar agama Islam pada masa dahulu bersikap arif. Dalam mengembangkan dakwahnya, para penyebar agama Islam tidak berusaha menggusur kepercayaan masyarakat begitu saja, melainkan dengan nasehat-nasehat yang baik dan menggunakan medium kesenian. Jadi Islam tidak begitu saja masuk ke dalam benak masyarakat. Para ulama menggunakan pendekatan tertentu pendekatan tertentu. Islam sangat menarik perhatian masyarakat lokal karena ajaran persamaan antarmanusia dan kebebasan manusia untuk bertindak serta doktrin agama yang tidak njelimet.

Pada masyarakat Nusantara sebelum Islam masuk, dakwahdengan kebudayaan, ekonomi, politik, sosial, dan kesenian semuanya digabungkan menjadi satu hal yang sangat ampuh. Menurut beberapa pakar, Nusantara diislamkan oleh para ulama tasawuf yang lebih lentur dalam hal fikih. Apalagi pada masa puncak penyebaran Islam di kepulauan Nusantara, kerajaan-kerajaan Hindu-Budha tengah merosot jauh dan ini menjadi kesempatan bagi masyarakat Islam untuk berkembang dan meraih kejayaan lebih jauh. Dalam proses penetrasinya yang dilakukan secara damai, pendekataan kebudayaan menjadi suatu hal yang penting dilakukan. Islam tidak datang di Nusantara dengan pedang, melainkan dengan sajadah dan sorban.

Penyebaran agama Islam berbanding lurus dengan penyebaran ulama di Nusantara. Sebagaimana halnya ditulis dalam buku “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara abad XVII dan XVIII: Akar Pembaruan Islam di Indonesia” oleh Azyumardi Azra. Pendidikan dan pengajaran ulama yang dimulai dari Aceh kemudian menyebar ke seluruh penjuru Nusantara. Bisa dibilang ulama-ulama yang pernah dididik di Aceh Darussalam kemudian menyebarkan Islam ke seluruh Nusantara. Meunasah dan masjid di Aceh bisa dibilang sebagai bibit pengkaderan ulama ke seluruh umat Nusantara. Begitu juga ulama-ulama di Nusantara juga bagiaan dari jaringan ulama di Timur Tengah dan seluruh dunia Islam.

Masa-masa awal pembaruan Islam di Timur Tengah dengan aliran Wahhabinya turut menyuburkan pengkaderan ulama di Nusantara. Pada mulanya Aliran Wahhabi dibawa oleh ulama-ulama Minangkabau yang kemudian menyebar ke seluruh umat Nusantara. Dengan didorong dengan perubahan sosial politik di Nusantara khusunya di Jawa Tengah, KH Ahmad Dahlan seorang ulama mendirikan Muhammadiyah yang beralirah Wahhabi yang kemudia berkembang tidak hanya di Jawa Tengah tetapi juga di Minangkabau.

Islam kemudian diakomodasi oleh penduduk lokal dengan menempatkannya dalam institusi tradisional. Di Aceh ada institusi meunasah dan masjid sedangkan di Minangkabau ada institusi surau. Surau pada masa sebelum kedatangan Islam adalah tempat peribatan masyarakat animisme yang kemudian di Islamkan. Banyak institusi adat yang kemudian di-Islamkan oleh penyebar agama Islam seperti tarian, upacara tradisional yang sebelumnya kental dengan nuansa jahiliyyah kemudian dicelupkan dengan budaya Islam.

Di Jawa, terdapat masjid agung yang ditempatkan tidak jauh dari keraton begitu juga di pedesaaan ada langgar. Keraton memiliki kadi khusus yang bertugas mengurusi penegakan hokum Islam di masyarakat. Jadi Islam sudah membudaya di kalangan masyarakat Nusantara. Belum lagi pada masyarakat Bugis, Buton, Ternate, dan Tidore. Islam sudah sungguh membudaya di tengah-tengah masyarakat.

Naskah-naskah kuno yang ditulis ratusan tahun yang lalu yang masih disimpan oleh tetua adat lokal membuktikan betapa dalam masyarakat Islam Nusantara, adat dan agama seolah menjadi satu kesatuan di kepulauan yang kini bernama Indonesia ini. Bahasa Melayu kemudian instrumen penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Bahasa Melayu tidak hanya berfungsi sebagai lingua franca (bahasa pengantar dan percakapan antar etnis) melainkan juga sebagai bahasa penyebar dakwah.Melalui berbagai instrumen, Islam tersebar di seluruh Nusantara dan ini menjadikannya begitu unik. Islam di Asia Tenggara tersebar tanpa konflik besar dengan agama pendahulunya. Para penyebar atau ulama Islam berbicara dengan bahasa dan budaya lokal tidak dengan bahasa Arab terlebih dahulu. Dari sini kita bisa belajar bahwa mengajarkan agama haruslah arif dan bijaksana.

Sayangnya kolonialisme Belanda menghentikan akulturasi Islam dan budaya lokal. Belanda memaksakan budaya Barat kepada kaum pribumi lokal. Hal itu jelas tidak berhasil. Justru Islam tetap bertahan walaupun ada seorang ahli Islam dari Belanda seperti Snouck Hujronje yang menganjurkan Islam dipisahkan dari politik. Wallahu a’lam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun